Jika sebelumnya telah diurai tentang putusan pemilihan penyedia barang/jasa diranah pejabat pengadaan/kelompok kerja (pokja) tidak dapat digugat PTUN. Maka selanjutnya bagaimana dengan putusan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)?
Putusan PPK, berupa ketetapan, dimulai sejak tahap persiapan pengadaan yaitu sejak perencanaan pelaksanaan pengadaan. Output rencana pelaksanaan pengadaan adalah spesifikasi, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan Rancangan Kontrak. Yang menarik adalah putusan sehubungan dengan lahirnya sebuah perjanjian/kontrak.
Jika dilihat dari runtutan pasal pada Peraturan Presiden Nomor 54/2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 4/2015 (Perpres 54/2010) maka putusan PPK pada ranah pelaksanaan pengadaan dimulai sejak Paragraf Kesepuluh tentang Penunjukan Penyedia Barang/Jasa Pasal 85 hingga Paragraf Delapan tentang Serah Terima Pekerjaan Pasal 95.
Pada artikel Putusan Pokja Bukan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara diungkapkan bahwa output proses pemilihan penyedia yang memenuhi syarat sebagai putusan tata usaha negara adalah Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Karena SPPBJ adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang berisi tindakan hukum tata usaha negara bersifat kongkret, individual dan final.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah putusan TUN berupa SPPBJ dapat digugat secara PTUN? Terkait hal ini dalam Gusti Noviar Kusuma, praktisi pengadaan dari Kabupaten Tanah Laut sekaligus juga pemberi keterangan ahli LKPP-RI, menyampaikan tesis yang menarik. Pada blog http://gustinoviarkusuma.wordpress.com terdapat artikel berjudul Putusan-Putusan Pra Kontrak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Yang Melebur Dalam Ranah Perdata.
Salah satu kutipan yang menarik dari artikel ini adalah bahwa, “Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa merupakan satu kesatuan dalam perbuatan perdata dalam hal ini membutuhkan tindak lanjut berupa perjanjian (kontrak) sehingga melahirkan hak dan kewajiban yang akan diatur didalam Surat Perjanjian (Kontrak) sesuai dengan ketentuan yang berlaku”
Jika pemahaman ini benar maka SPPBJ, meski merupakan putusan PTUN, tetap tidak bisa digugat PTUN. Simpulan ini dikaitkan dengan klausul Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), menyatakan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara meliputi Antara lain Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata.
Simpulan ini diperkuat dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 252 K/TUN/2000 tanggal 13 November 2000 yang menggariskan kaidah hukum bahwa: “Segala Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan perjanjian a quo maupun diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan perjanjian a quo maupun diterbitkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan isi bunyi perjanjian an sich, ataupun menunjuk pada suatu ketentuan dalam perjanjian (kontrak) yang menjadi dasar hubungan hukum antara kedua belah pihak, haruslah dianggap melebur (oplossing) ke dalam hukum perdata, dan karenanya merupakan Keputusan Tata Usaha Negara dalam arti Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009), yaitu keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan perdata, yang menjadi kompetensi Pengadilan Perdata untuk menilainya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya dalam rangka penilaian terhadap suatu perbuatan hukum pemerintahan. Putusan ini menjadi yurisprudensi dalam banyak kasus yang menolak gugatan PTUN atas keputusan tata usaha negara yang merupakan satu kesatuan dengan proses perdata.
Jika SPPBJ saja tidak dapat digugat melalui PTUN, mestinya dalam proses peradilan TUN, materi apapun yang berhubungan dengan terbentuknya kontrak atau yang melebur dengan kontrak tidak dapat diproses melalui PTUN. Dalam tahap dismissal mesti gugur dengan sendirinya. Tidaklah salah apabila tetap diproses, dalam rangka mencari kepastian hukum, namun biaya waktu, tenaga bahkan uang terkuras hanya untuk proses gugatan PTUN yang sudah pasti ditolak.
Dalam sebuah kasus pemutusan kontrak misalnya Surat Pencairan Jaminan Pelaksanaan oleh PPK digugat PTUN oleh penyedia. Padahal pencairan jaminan pelaksanaan adalah hak preogatif jika PPK, dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melakukan pemutusan Kontrak melalui pemberitahuan tertulis kepada penyedia yang melanggar ketentuan kontrak atau wanprestasi. Seperti amanat Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 harusnya masuk dalam proses peradilan perdata. Meskipun Surat Pencairan Jaminan Pelaksanaan yang disampaikan PPK kepada penerbita Jaminan adalah putusan pejabat yang bersifat kongkrit, indiviudal dan final namun tidak serta merta dapat digugat secara TUN.
Dari runtutan penjelasan diatas maka jelas bahwa :
- Tidak semua putusan yang memenuhi syarat sebagai putusan TUN bisa digugat ke PTUN.
- SPPBJ oleh PPK meski merupakan Putusan TUN, tidak dapat digugat pada peradilan TUN, karena merupakan putusan yang mengikat pada lahirnya sebuah perikatan/kontrak.
- Putusan TUN yang berhubungan langsung dengan lahirnya perikatan, termasuk segala putusan TUN yang ada dalam perikatan adalah putusan perdata tidak dapat digugat secara PTUN.
Pada bagian lanjutan dari artikel ini akan dibahas putusan TUN mana yang mempunyai kekuatan hukum untuk digugat secara PTUN.
4.5
Apabila yang kita gugat bukan SK Pemtusan Kontrak, melainkan prosedur pemutusan kontrak yg tdk sesuai dengan Pearturan Perundang – undangan ( mengakhiri dan atau tidak melanjutkan tanpa ada pemberitahuan atas putus kontrak secara tertulis selambat lambatnya 14 hari)??
Dan Pencairan Jaminan Pelaksanaan dipotongkan dari TERMIN, bukan diambil di Bank Umum dan atau asuransi yg ditujuk OJK, apakah tetap tidak apa2, karena hal itu HAK PREOGRATIF PPK?? Bisa hancur negeri ini apabila Pejabat bertindak diluar batas kewenangannya…
Salam sukses dan sehat selalu