Beberapa minggu ini Kalimantan Selatan menjadi sorotan karena robohnya Jembatan Mandastana. Otomatis yang dilirik adalah proses pengadaan barang/jasa. Wajar karena Jembatan Mandastana adalah output dari proses pengadaan barang/jasa. Betapa publik sangat menyayangkan jembatan yang baru selesai dibangun akhir tahun 2015, kemudian patah ditengah, hanya berselang waktu kurang dari dua tahun.
Anehnya tak berselang hari, pemberitaan terkait Jembatan Mandastana langsung mengerucut pada persoalan penanganan kasus hukum pidana. Persoalan pengadaan barang/jasa yang notabene berada diwilayah Hukum Administratif dan Hukum Perdata, tenggelam begitu saja.
Aspek Administratif dan Perdata
Dalam Buku Serial Bacaan Wajib Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, saya mengemukakan terminologi “Masalah Kontrak” dan “Kontrak Bermasalah”.
Masalah kontrak adalah bagian dari manajemen risiko kontrak. Dengan demikian risiko-risiko masalah, dalam kasus ini robohnya Jembatan Mandastana, telah tertuang dalam kontrak termasuk tata cara penanganannya. Inilah yang kemudian disepakati oleh para pihak yang bertandatangan kontrak. Kontrak masuk dalam klausul hukum perdata. Asas hukum perdata mengikat pada asas pacta sun servantda yaitu perikatan/kontrak adalah hukum atau undang-undang yang mengikat para pihak di dalamnya.
Kontrak bermasalah adalah penyimpangan perikatan yang menyebabkan kontrak kemudian dianggap tidak sah. Semisal kontrak dibentuk melalui proses yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Maka ini melanggar asas kehalalan berkontrak, sehingga kontrak dapat dikatakan tidak ada atau batal demi hukum. Disinilah peluang perbuatan melawan hukum terjadi. Termasuk potensi perbuatan pidana-nya.
Untuk itu, tanpa menafikan pengusutan pidana, kasus robohnya Jembatan Mandastana harus diselesaikan terlebih dahulu dalam dimensi pengadaan barang/jasa. Yaitu administratif dan perdata.
Ini tersirat dalam amanat Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2016 terkait perlindungan hukum kepada pelaksana jasa konstruksi. UU 2/2017 Pasal 86 membatasi bahwa proses pemeriksaan hukum pidana pada pelaksanaan konstruksi yang langsung berpengaruh pada proses kontraktual adalah jika menyebabkan timbulnya korban jiwa atau operasi tangkap tangan.
Demikian juga dengan asas hukum pidana terkait ultimum remedium. Sebagaimana dikutip dari laman www.hukumonline.com bahwa istilah ultimum remedium dalam buku Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” (hal. 17), mengatakan bahwa hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Dengan demikian, disela desakan masyarakat yang begitu kuat untuk mengangkat masalah ini langsung ke ranah pidana, perlu juga kita turut mengkampanyekan bahwa ada tahapan penyelesaian administratif dan perdata yang harus didahulukan.
Aspek Penganggaran
Ketika melihat data lelang tertuang informasi sumber dana Dana Alokasi Khusus (DAK) Tambahan – Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Terbayang sebuah proses pengadaan barang/jasa yang dituntut cepat bahkan super cepat. Pelaksanaan konstruksi jembatan dengan nilai sebesar 18 milyar rupiah digenjot dalam waktu kurang lebih 5 bulan (data http://lpse.baritokualakab.go.id kode lelang 831270). Hal ini dapat diperbandingkan dengan kapasitas pelaksana, peralatan dan sumber daya lainnya.
Teori manajemen proyek, ketika waktu digenjot super cepat maka unsur biaya akan terdongkrak dan mutu menjadi terkoreksi. Jika yang digenjot hanya unsur waktu, tanpa ada rekayasa tertentu dengan penambahan biaya maka mutu akan turun menjadi sangat standar, bahkan rendah.
DAK APBN-P bagi daerah bak buah simalakama. Jika tidak diserap, akan ada sanksi-sanksi yang diterima. Salah satu yang ditakuti adalah sanksi pemotongan atau penghentian anggaran. Jika diserap, maka alokasi waktu pelaksanaan sangat sempit. Ditambah lagi tuntutan target pembangunan yang tinggi.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang percepatan pengadaan barang/jasa memberikan perhatian khusus terkait dana DAK. DAK harus diproses oleh Kementerian/Lembaga diawal tahun, begitu instruksinya. Sayangnya tetap ada insiden DAK di tengah tahun, parahnya lagi diarahkan untuk pekerjaan fisik konstruksi.
Untuk itu robohnya Jembatan Mandastana harus menjadi pembelajaran yang berharga untuk pemerintah daerah, dalam menyikapi pola penyaluran dan pelaksanaan dana DAK terlebih lagi dari APBN-P.
Inilah momentum yang cukup tepat untuk mensosialisasikan, mendiskusikan dan memperbaiki perhatian terhadap aspek pengadaan barang/jasa. Ajakan ini untuk semua pihak yang terlibat. Tidak hanya pemerintah dan penyedia barang/jasa tapi juga aparatur hukum, pemeriksa, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat secara luas.
Jangan sampai robohnya Jembatan Mandastana hanya berujung pada memenjarakan, tapi tetap membuka perangkap bagi pelaksana pengadaan barang/jasa lainnya untuk dipenjara. Mari bicarakan pengadaan barang/jasa secara obyektif dan terbuka.