Memahami Asal Merek dan Asal Barang

Menjadi menarik ketika mengikuti sebuah persidangan kasus pidana korupsi mengungkapkan salah satu temuan kunci terkait keabsahan satu produk atau barang yang dihasilkan dapat diluluskan dalam sebuah evaluasi penawaran. Artikel ini tidak akan membahas keseluruhan konten kasus yang menyebabkan putusan dibalakang hari, melainkan hanya menganalisis salah satu temuan secara spesifik.

    Pada salah satu dokumen yang saya dapatkan, dijelaskan seperti ini:

    Atas dasar perbedaan tersebut, menurut informasi yang saya terima, maka kemudian pemeriksa menyimpulkan bahwa output barang tidak dapat dinyatakan ada dan tidak sah untuk dibayar. Dengan kata lain barang tersebut dianggap fiktif. Dan salah satu item yang dijadikan menghitung Kerugian Negara adalah nilai pembayaran atas produk yang dianggap “fiktif” ini.

    Ini yang dasar kenapa artikel ini penting untuk disampaikan. Hal yang sebenarnya sepele dipandangan umum namun dalam sebuah kasus dugaan pidana korupsi menjadi sangat krusial.

    Beberapa hal yang menjadi pointer dalam artikel ini adalah:

  1. Memahami Asal Merek dan Asal Barang
  2. Perbedaan klausul Barang Ada dan Barang Tidak Sesuai.

Asal Merek dan Asal Barang

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya mengenal kata Merek bukan Merk. Merek berasal dari absorbsi kata Merk dari Bahasa Inggris. KBBI menguraikan definisi Merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal; cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.

    Atas dasar kepatuhan terhadap Bahasa Indonesia yang dibakukan maka Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU 15/2001) juga menggunakan nomenklatur Merek. Dengan demikian Merek sdh mempunyai kekuatan hukum.

    Selanjutnya jika kita telaah UU 15/2001 pasal 1 maka didapatlah penjelasan bahwa Merek adalah Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

    Selanjutnya Merek dikategorikan dalam 3 tipe yaitu :

  1. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
  2. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
  3. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.

    Selanjutnya jika kita telaah UU 15/2001 pasal 1 angka 13 maka didapatlah penjelasan tentang lisensi sebagaimana fokus pebahasan artikel ini. Disebutkan bahwa Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Nomenklatur Lisensi merupakan absorbsi dari kata License.

    Dengan demikian pemegang lisensi berhak menenyelenggarakan kegiatan produksi atau perdagangan terkait merek yang telah diberikan oleh pemegang merek. Banyak contoh dalam praktik ini salah satunya sebagaimana dipublish pada website https://id.wikipedia.org.

Toyota adalah merek dari negara Jepang. Pemilik Merek Toyota adalah Toyota Motor Corporation (TMC). Sementara itu untuk di Indonesia terdapat pemegang lisensi merek Toyota adalah Toyota Astra Motor (TAM) sejak tahun 1971.

Pada tahun 2003 Lisensi Produksi diserahkan pada PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia disingkat TMMIN yang merupakan perakit produk Toyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Untuk agen penjualan, importir dan distributor produk Toyota di Indonesia ditunjuk PT. Toyota-Astra Motor.

Dengan demikian untuk studi kasus Toyota. Asal barang bisa saja dari Indonesia namun demikian Asal Merek tetap dari Jepang. Untuk itu dalam beberapa penulisan disebutkan bahwa barang Indonesia Lisensi Jepang.

Belajar dari ini, memahami fokus kasus di atas, maka ketidaksamaan penyebutan antara dokumen kontrak yang menyebutkan Terallon/France dan surat dukungan Terallon/China Lisence France adalah tidak substansial sebagai kejahatan bahkan tidak terdapat kesalahan. Asal barang Terallon bisa saja dari China namun demikian Asal Merek tetap dari France. Artinya permintaan dalam spesifikasi dokumen pemilihan, penawaran yang tertuang dalam kontrak Merek Terallon dari France tetap sesuai dengan surat dukungan Merek Terallon dari China Lisence France.

Barang Ada dan Barang Tidak Sesuai.

    Dalam Standar Audit Internal Pemerintah Indonesia (SPIP) yang banyak diacu oleh para auditor bahwa laporan hasil audit harus adil dan tidak menyesatkan. Ini berarti auditor harus menyajikan hasil audit secara netral dan menghindari kecenderungan melebihlebihkan kekurangan yang ada.

    Dengan demikian dalam narasi temuan pemeriksaan harus jelas tentang kriteria. Ini agar tujuan laporan hasil audit harus adil dan tidak menyesatkan. Misalkan Kriteria administratif terdiri dari kriteria “ada” dan “tidak ada”. Sedangkan kriteria teknis minimal “ada dan sesuai”, “ada dan tidak sesuai”, “tidak ada”.

    Jika dalam proses administratif barang dinyatakan “ada” namun ditemukan ketidaksamaan antar dokumen administratif, tentu tidak dapat dikatakan barang adalah fiktif atau tidak ada. Jika secara administratif terjadi ketidaksamaan narasi belum tentu tidak memenuhi persyaratan administratif secara substansi. Untuk itulah dalam setiap Dokumen Pengadaan disebutkan bahwa evaluasi administratif terhadap hal-hal substansial.


    Ditambah lagi jika secara teknis output memenuhi kriteria “ada dan sesuai” maka penilaian “ketidaksamaan” administratif menjadi sangat-sangat tidak substansial.

    Menukik ke pembahasan kasus di atas maka kuat sekali adanya kekhilafan hasil audit. Perbedaan antara penulisan “Terallon/France” dalam
spesifikasi, penawaran dan kontrak dengan penulisan “Terallon/China Lisence France” dalam dan surat dukungan sangat-sangat tidak substansial dijadikan dasar menggugurkan penawaran atau menganggap kontrak tidak sesuai.

    Ditambah lagi ternyata perbedaan narasi tersebut di atas ternyata tidak mempunyai pengertian yang berbeda. Sangat-sangat dzolim jika lantas barang dinilai fiktif dan tidak sah untuk dibayar sehingga dijadikan dasar menghitung kerugian negara.

    Jika ingin diambil kesimpulan maka dapat disimpulkan bahwa :

  1. Asal merek dan asal barang bisa berbeda namun jaminan kualitas tetap mengacu pada asal merek.
  2. Dalam menyusun dan menilai spesifikasi kualitas pastikan mengacu pada asal merek bukan asal barang.
  3. Jika terdapat ketidaksamaan narasi administratif maka perlu dinilai substansi kesesuaian administratif dan teknis agar simpulan menjadi obyektif.

2 thoughts on “Memahami Asal Merek dan Asal Barang”

  1. disamping itu, dalam hal pengadaan alat kesehatan diwajibkan untuk memintan scan ijin edar alat kesehatan yang diterbitkan oleh Binfar kementrian kesehatan pak, karena ada beberapa jenis alkes kadang sudah beredar dulu sebelum izin edar diterbitkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.