Tersiar kabar Dana Desa dari APBN sebesar 20,7 triliun rupiah pada 2015 ini penyerapannya masih sangat rendah, karena banyak Bupati atau Walikota yang belum menyalurkan Dana Desa kepada desa-desa yang ada di wilayahnya. Kemudian Pemerintah akan memberikan sanksi kepada daerah yang menghambat pencairan Dana Desa, termasuk Kepala Daerah yang menolak menerima Dana Desa terancam akan mendapat sanksi pidana.
Sontak saja ancaman ini membuat beberapa Kepala Daerah bereaksi. Dengan daya magis percepatan serapan anggaran, peraturan teknis terkait pengelolaan dana desa dibuat secara mendadak. Maka sejak saat itu mengalirlah dengan derasnya dana desa kerekening pemerintah desa.
Para Pembakal atau Kepala Desa sebagian besar kebingungan merealisasikan dana desa yang telah masuk ke rekening kas desa. Kucuran dana desa bernilai ratusan juta rupiah ibarat durian runtuh disiang hari. Disisi lain genta pemberantasan korupsi terus menggema dan terngiang hingga ke alam mimpi. Dus yang terjadi akhirnya Dana Desa, yang berhasil cair dari Kabupaten, mengendap dalam rekening Desa.
Meski demikian sebagian Kepala Desa ada yang berani melakukan langkah penyerapan anggaran. Sayangnya dengan keterbatasan tingkat pendidikan, pengetahuan dan kemampuan manajemen, justru mengkhawatirkan. Disatu desa APBDesa telah siap dibayarkan untuk pembelian tanah kavling dengan alasan akan dibangun fasilitas PAUD. Akuisisi aset tanah sama sekali bukan prioritas apalagi ranah pengadaan barang/jasa pemerintah. Bahkan seperti temusn lembaga anti rasuah, KPK, ada yang digunakan membeli mobil dinas.
Ini pertanda bahwa masih sedemikian besar Pekerjaan Rumah (PR) untuk mempersiapkan desa, agar memiliki kemampuan standar mengelola Dana Desa. Lalu benarkan yang tidak siap adalah Desa saja?
Di Kalimantan Selatan, dari pengalaman diminta untuk mendampingi sosialisasi pengadaan barang/jasa di Desa ke beberapa Kabupaten dan Kecamatan, Peraturan Pengadaan Barang/Jasa di Desa, masih berupa Copy Paste Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2014. Bahkan boleh dikatakan Perbup tersebut hanyalah Perka LKPP 13/2014 yang diganti nama menjadi Perbup tanpa disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi Desa.
Di satu Kabupaten, Leading Sector Dana Desa, bahkan tidak mengerti kandungan amanat Perbup yang dibuatnya sendiri. Sehingga sampai perbup operasional tim asistensi teknis tingkat Kabupaten tidak juga dibentuk. Begitu dana desa telah dicairkan aparat desa hanya didampingi oleh tim pendamping desa yang notabene bukanlah pengambil kebijakan. Ketika kebijakan berbenturan dengan realita dilapangan, aparat desa dan pendamping desa seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Bertanya ke Kabupaten pun yang dihadapi hanyalah permainan bola pingpong.
Ini satu pertanda nyata bahwa daerah-pun belum siap betul untuk mendukung Desa dalam membangun kemandirian pembangunan di Desa!
Lalu apakah Pemerintah Pusat juga siap dengan serangkaian strategi yang matang untuk memastikan Dana Desa dapat terserap dengan baik?
Ternyata keluhan aparat dan pendamping desa seragam. Persoalan inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat menjadi kendala utama. Dari beberapa dengar pendapat, Kepala Desa mengeluhkan belum jelasnya mekanisme perubahan APBDesa akibat ketidaksesuaian perencanaan awal dengan realisasi dana yang ada. Hampir merata seluruh desa menyusun perecanaan anggaran bukan berdasarkan kebutuhan tapi berdasarkan rencana alokasi anggaran yang didapatkan. Itupun rencana alokasi ternyata berubah disaat-saat akhir.
Ini artinya tidak hanya pemerintah daerah yang tidak siap, pemerintah pusat-pun, setali tiga uang. Ketika pemerintah pusat dan daerah tidak siap maka patutkah Desa dipersalahkan?
Atas kondisi ini kiranya penting bagi seluruh pihak menyesuaikan ekspektasi dengan realita yang ada. Janganlah mengukur batu akik dengan alat ukur intan berlian. Jika ini dilakukan maka tidak akan ada satupun yang akan luput dari penghakiman tak berkeadilan.
Pemerintah harus berupaya keras menyusun sebuah strategi yang tepat berdasarkan strata kematangan manajemen di desa. Alokasi dana desa tidak harus mengalir dalam bentuk uang dalam satu tahap, mestinya aliran barang/jasa ke desa bisa menjadi solusi berjangka. Misalnya jika jelas desa belum siap dan disiapkan membangun jembatan secara mandiri, mestinya jembatan dipenuhi melalui pemerintah daerah.
Kita sepakat bahwa pembangunan Desa Adalah ujung tombak keberhasilan Pembangunan Nasional. Tidak ada pula yang tidak sepakat bahwa Desa harus diberikan alokasi dana sesuai dengan amanat UU. Namun jika ukuran keberhasilan hanya dari derasnya uang mengalir, tidak diperlukan pemerintahan yang terlalu cerdas untuk itu. Ini bukan hanya tentang derasnya dana dari Kas Negara kemudian mengalir ke Kas Daerah kemudian Ke Kas Desa. Yang lebih penting adalah Dana Desa tersebut terserap ke dalam kegiatan nyata ditingkat Desa.
Upaya memindahkan beban pengelolaan uang dari pusat-daerah ke desa tanpa dibarengi rencana strategis yang matang adalah sebuah kegagalan perencanaan. Sangat mustahil sebuah perencanaan yang gagal akan menghasilkan keberhasilan. Artinya jika ditemukan kegagalan adalah sebuah hal yang niscaya. Tegakah kita melihat aparat Desa hanya menerima bala atau petaka dari tuah uang negara di dalam jeruji penjara?
Demikian sekedar renungan bersama sebelum kita mengalirkan hujatan ke Desa bersama aliran dana desa. Wallahualam bissawab.
Penulis : Samsul Ramli, S.Sos, Cert. SCM (ITC)
Penulis Buku Pengadaan Barang/Jasa dan Dewan Pendiri Pusat Pengkajian Pengadaan Indonesia
semoga bisa dijadikan pencerahan bagi pengelola dana desa
Silakan Pak..
Ngeri pisan Pak Samsul Ramli
Pak Ali: kita harus dukung program dana desa dengan segala upaya tanpa mengorbankan siapapun, maka setidaknya ini menjadi pengingat dan perhatian kita bersama.
Sepakat! Bahwa ujung pedang jangan hanya diarahkan kepada aparatdesa/desa, kematangan program harus jua dibenahi dengan persiapan sdm yg matang pula sehingga tidak terjadi kebimbangan karena ditakut-takuti sanksi pidana. Ibarat simalakama, tak dipakai takut di pidana, dipakai takut kena pidana
Pak Kayla: demikianlah kondisinya…