Paparan Materi Koordinasi Penanganan Kasus Hukum Pengadaan Barang/Jasa
Disampaikan Oleh : Samsul Ramli
Pada Acara Rapat Kerja Teknis Fungsi Reskrim Polda Kalsel 2015
Slide 3 : Saya mengutip quotation dari Herie Purwanto, Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Kasat Reskrim Polres Magelang : 2015 yang dipublikasikan pada Harian Suara Merdeka, “Bila setiap kesalahan akhirnya dicarikan justifikasi Sebagai perbuatan pidana maka hakikatnya kita akan jauh dari Rasa keadilan”
Bagi saya kutipan ini luar biasa dan mengena. Ditambah lagi kalimat ini dituliskan oleh aparatur penegak hukum. Pendapat ini inline dengan pendapat pribadi saya bahwa tidak setiap kesalahan adalah kejahatan, meski kejahatan pastilah sebuah kesalahan.
Slide 4 : Kondisi pengadaan barang/jasa pemerintah saat ini menurut gambaran saya adalah mirip dengan kendaraan Moto GP yang sangat canggih dan mampu mencapai kecepatan maksimum yang luar biasa. Mengingat kendaraan ini dibuat untuk mencapai kecepatan maksimum untuk sampai finish dengan sempurna maka memerlukan pengendara yang luar biasa tinggi kompetensi. Dalam slide saya gambarkan sebagai Valentino Rossi.
Valentino Rossi mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengendarai MotoGP karena sepanjang karirnya ada dilintasan balap. Disisi keamanan balapan Rossi dilindungi oleh perlengkapan yang canggih seperti helm dan jaket. Diluar arena Rossi tidak lagi memikirkan kesejahteraan dirinya karena sallary yang didapatkan melebihi 138 Milyar/tahun belum lagi soal asuransi dan jaminan lainnya.
Mari kita bandingkan dengan kondisi Pengadaan barang/Jasa pemerintah saat ini. Bahkan dengan dikeluarkannya Inpres 1/2015 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perpres 4/2015 yang keduanya mengamanatkan percepatan. Hampir 70% pelaksana pengadaan barang/jasa adalah pejabat struktural pemerintahan dengan berbagai disiplin ilmu. Sejauh ini memang belum ada penelitian yang dilakukan terkait kesesuaian disiplin ilmu dan keahlian dengan paket pengadaan yang sedang ditangani. Namun secara kasat mata dapat disimpulkan bahwa lebih banyak yang tidak sesuai.
Dari sisi keamanan bagi pelaksana khususnya keamanan dari sisi tuntutan hukum, pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah dalam perlindungan yang sangat minim. Beruntunglah sejak Perpres 4/2015 sudah dituangkan tentang perlindungan hukum yang dapat membawa sedikit angin segar.
Dari sisi kesejahteraan, pelaksana pengadaan barang/jasa pemerintah masih jauh dari ideal. Antara beban kerja dan reward masih jauh panggang dari api.
Dari timpangnya perbandingan antara kompetensi dan risiko ini kemungkinan munculnya kesalahan dalam pengadaan barang/jasa tentu sangat tinggi. Bahkan hampir pasti dalam proses pengadaan barang/jasa terdapat kesalahan. Apalagi jika kesalahan itu dicari-cari.
Simpulannya jika setiap kesalahan dijustifikasi sebagai kejahatan maka dipastikan seluruh manusia yang melaksanakan pengadaan barang/jasa akan masuk penjara. Karena manusia adalah tempatnya salah.
Slide 5: Ketika berbicara tentang kondisi “pengendara” pengadaan barang/jasa maka tidak hanya berbicara tentang pelaksana pengadaan barang/jasa dan penyedia saja. Tidak idealnya kompetensi, sallary dan jaminan kesejahteraan juga menghinggapi hampir seluruh stakeholder terkait. Auditor misalkan masih banyak yang tidak paham tentang pengadaan barang/jasa apalagi kalau dalam tataran teknis. Pun juga Aparat penegak hukum yang menangani kasus hukum pengadaan barang/jasa sedikit yang mempunyai pengalaman praktikal, rata-rata hanya berbekal pengetahuan saja. Artinya tahu sedikit dipaksa tahu banyak sehingga mudah sekali terjebak prasangka dibandingkan fakta.
Slide 6: Ditengah kondisi inilah LKPP-RI hadir. Munculnya lembaga khusus yang menangani pengadaan barang/jasa adalah perjuangan panjang yang patut dijadikan tonggak sejarah dan kesyukuran bagi pelaku pengadaan barang/jasa. Meski lembaga ini, patut disadari, hanyalah sebuah lembaga setingkat kementerian (tetap bukan kementerian artinya) yang dipayungi hanya oleh Perpres (Perpres 106 tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Perpres 157 Tahun 2014) tidak seperti kementerian/lembaga yang hadir atas dasar UU. Tentu kiprahnya akan sangat banyak sekali dipertanyakan dalam menangani urat nadi pembangunan Indonesia yang sedemikian luas.
Slide 7 dan 8 : LKPP RI memiliki Direktorat Hukum dan Sanggah dimana salah satu sub direktoratnya adalah Subdit Saksi Ahli yang mempunyai tugas melaksanakan pemberian pendapat hukum dalam rangka kesaksian ahli dalam perkara pidana umum dan korupsi, perdata, tata usaha negara serta persaingan usaha yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Subdit ini bertujuan untuk menempatkan kasus hukum pengadaan barang/jasa secara objektive.
Slide 9 : Secara khusus dipaparkan Pasal 117 Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 4/2015 yang menjelaskan bahwa permasalahan pengadaan barang/jasa berada dalam wilayah administratif untuk itu ketika ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan maka langkah awal adalah pengaduan disampaikan kepada Aparat Pemeriksa Internal Pemerintah (APIP) yaitu Inspektorat atau BPKP. Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum pidana maka atas persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/ Pimpinan Institusi dilaporkan kepada instansi berwenang untuk ditindak lanjuti. Prosedur ini yang sering tidak diindahkan dalam proses penanganan hukum PBJP khususnya dalam ranah pidana. Pada ayat 5 sangat tegas bahwa proses hukum oleh instansi berbwenang baru dapat menindaklanjuti pengaduan setelah kontrak.
Perlunya sinergitas yang baik antara APH dan APIP untuk menyamakan persepsi, tindak dan proses agar proses penanganan hukum tidak lantas memidanakan kesalahan tetapi juga tidak melepaskan kejahatan.
Slide 10 : Pada kesempatan ini juga disampaikan beberapa mitos pengadaan barang/jasa yang selama ini dijadikan triger proses hukum pengadaan barang/jasa, diantaranya:
-
Menyebutkan merek pada spesifikasi dilarang dan terindikasi melawan hukum. Tidak selalu penyebutan merek dalam spesifikasi adalah tindakan yang melanggar hukum. Perpres 54/2010 dan perubahannya tidak melarang penyebutan merek atau mengarah pada produk tertentu. Yang dilarang jika tindakan tersebut dilakukan sebagai rekayasa yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian harus dibuktikan secara meyakinkan bahwa bahwa tindakan penyebutan merek melanggar persaingan yang sehat baru ditindaklanjuti sebagai persoalan hukum.
-
Penawaran kurang dari 3 pelelangan gagal. Modus pengaturan lelang dengan gagal lelang sudah tidak relevan lagi. Sehingga penawaran kurang dari 3 tidak lantas bisa dijadikan dasar indikasi tindak kejahatan pengaturan pelelangan.
-
Batas keuntungan yang wajar adalah 15%. Keuntungan yang wajar yang dapat dibatasi adalah perhitungan keuntungan yang wajar dalam rangka penyusunan HPS. Angka tersebut adalah contoh untuk pekerjaan konstruksi sesuai penjelasan pasal 66. Sedangkan untuk jenis pengadaan non konstruksi angka 15% hanya sebagai benchmark saja bukan sebagai ketetapan yang kaku. Dan perlu diingat 15% tersebut bukan keuntungan yang wajar tapi keuntungan + overhead. Disisi lain angka 15% bukanlah batasan keuntungan yang wajar untuk penawaran penyedia. Tidak ada batasan keuntungan yang wajar untuk penawaran penyedia. Selama angka penawaran penyedia dibawah HPS maka dianggap wajar. HPS sendiri sejatinya harus salah karena kalau HPS tepat maka akan mengundang kecurigaan. Bayangkan saja kalau HPS ditetapkan 500juta kemudian seluruh penyedia menawar tepat 500juta pasti mencurigakan apalagi diatas HPS sudah tidak wajar. Poinnya adalah HPS sangat potensial sekali terjadi kesalahan namanya juga perkiraan. Yang harus ditekankan adalah HPS disusunn berdasarkan data dan perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
-
Discount dalam penawaran dan hps. Seperti halnya pembahasan keuntungan yang wajar maka jika ditemukan informasi discount dalam survey harga harus diperhitungkan ketika menyusun HPS. Sementara itu discount yang didapatkan penyedia sama sekali bukan obyek kesalahan ataupun kejahatan selama harga penawaran dibawah HPS dan tidak terjadi persekongkolan atau pengaturan lelang atau perbuatan pidana lainnya.
-
Klarifikasi alamat penyedia. Klarifikasi alamat bukanlah kewajiban mutlak, faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah ketersediaan biaya pendukung dan waktu untuk melaksanakannya. Jika tidak disediakan biaya pendukung dalam DIPA/DPA maka pokja tidak punya kemampuan yang memadai untuk klarifikasi lapangan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar menyalahkan apalagi menjahatkan.
-
Memecah paket menghindari pelelangan. Yang dilarang adalah menghindari pelelangan bukan memecah paket. Untuk itu tidak bisa serta merta pemecahan paket dikatakan kesalahan atau kejahatan. Harus dikembalikan ke prinsip efisien dan efektif.
-
Kerangka acuan kerja dalam spesifikasi. KAK dalam pengadaan barang/jasa berada dalam 2 wilayah yaitu dalam RUP dan RPP. Untuk KAK dalam RUP disebut Kerangka Acuan Kegiatan, dan ini sifatnya wajib. Untuk KAK dalam RPP/Spesifikasi adalah Kerangka Acuan Kerja yang sifatnya disesuaikan dengna kompleksitas barang/jasa. Untuk Konsultan misalkan maka spesifikasi berupa KAK.
Demikian sedikit paparan yang bisa saya sampaikan, untuk memenuhi permintaan teman-teman. Semoga apa yang saya sampaikan dihadapan teman-teman aparat hukum ini menjadi manfaat dan pencerahan. Agar penanganan permasalahan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi lebih selektif dan mendukung percepatan pembangunan. Tujuannya adalah menyaring pengadaan barang/jasa dari perbuatan jahat dan meluruskan praktik yang keliru dalam pelaksanaan barang/jasa. Akhirulkalam saya ucapkan mohon maaf atas segala kekurangan. Wallahualambisswawab.
Bahan Tayang dapat didownload disini