Keuntungan Penyedia Tidak Boleh Lebih dari 15%? Ngawur?

Dalam satu diskusi salah seorang teman menyampaikan pertanyaan salah seorang aparat penegak hukum. Pertanyaannya adalah apa benar menurut perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 70 keuntungan penyedia tidak boleh lebih dari 15%?

    Setelah ditanya balik menurut beliau bagaimana? Jawabannya justru mengejutkan, menurut beliau tidak mungkin kita membatasi keuntungan yang harus ditawarkan penyedia. Maka sayapun sependapat. Keuntungan penyedia adalah mekanisme pasar. Siapa yang bisa memastikan mekanisme pasar? Paling banter memperkirakan saja. Maka dari itu Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan perpres 70/2012 hanya mengatur tata cara menyusun Harga “PERKIRAAN” Sendiri.

    Dalam memperhitungkan keuntungan dipasar dasarnya adalah opportunity. Peluang untuk mendapatkan keuntungan yang optimal dengan pengorbanan tertentu. Bahkan menurut pendapat ahli ekonomi lama prinsipnya adalah mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan pengorbanan yang minimal. Inilah hukum pasarnya.
Yang membingungkan adalah ketika beberapa ahli atau yang dianggap ahli pengadaan barang/jasa pemerintah tidak sependapat dengan hukum pasar ini. Kemudian menyatakan bahwa dalam pengadaan barang/jasa pemerintah keuntungan penyedia itu maksimal 15%. Dari manakah simpulan yang mengingkari hukum kodrati pasar ini?

Ternyata dasarnya adalah penjelasan pasal 66 Ayat (8) yang menyebutkan “Contoh keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus).

Sepertinya harus kita coba cari asbabun nuzul munculnya penjelasan ini. Pertama; Penjelasan pasal ini berada dalam Bagian Ketujuh Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan perpres 70/2012 yang khususan membahas Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Artinya sangat jelas ketika berbicara keuntungan dalam lingkup bagian ini semua terkait dengan tata cara menyusun HPS.

Sesuai dengan nomenklaturnya HPS adalah Perkiraan. Menurut KBBI, perkiraan adalah yg diperkirakan; hasil mengira-ngira; pertimbangan; perhitungan. Dari sini jelas bahwa HPS bukanlah sesuatu yang pasti. Menyusun HPS adalah tentang seni dan keahlian memperkirakan harga pasar dengan metode perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian perkiraan tetaplah perkiraan tidak punya kebenaran dan ketepatan absolut. Ada sampling error yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya.

Simpulannya HPS sangat mungkin salah. Kesalahan menyusun HPS adalah kesalahan menyusun perkiraan yang tidak selalu jahat. Akan jahat apabila kesalahan perhitungan dibuat dengan sengaja untuk tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau golongan tertentu. Bukankah kesalahan tidak selalu kejahatan, meski kejahatan selalu mengandung kesalahan. Yang dihukum mestinya adalah kejahatan bukan kesalahan. Justru karena pernah salah kita bisa berbuat benar kedepannya.

Kapan HPS ketahuan salah? Ketika bertemu dengan harga pasar yang tercipta pada saat pelelangan/pemilihan penyedia! Sangat jarang ditemukan HPS yang absolut benar karena hukumnya memang begitu. Lihat pasal 66 ayat 5 fungsi HPS adalah alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya dan dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah.

Dari aturan ini maka dapat dipastikan 99% HPS adalah salah karena penawaran kalau tidak diatas HPS ya dibawah HPS. Sangat jarang ditemukan HPS dan Harga Penawaran sama persis. Kalau sama persis potensi kejahatannya sangat besar, meski belum tentu juga kejahatan J. Apalagi untuk struktur biaya yang terdiri dari rincian. Bukankah rincian HPS hukumnya rahasia, jika HPS sama dengan Harga Penawaran kemungkinan besar rincian bocor.

Ketika Harga Penawaran dibawah HPS. Artinya HPS tidak mampu menangkap Harga Pasar sebenarnya. Kesalahan ini lah yang kemudian menjadi bahan pembenahan HPS pengadaan barang serupa dimasa yang akan datang. Ini juga diatur oleh pasal 66 ayat 7 huruf c. bahwa salah satu sumber informasi HPS adalah biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya.

Kembali ke pembahasan keuntungan. Dari uraian sebelumnya jelas bahwa keuntungan yang dijelaskan dalam pasal 66 ayat 8 tersebut adalah perkiraan keuntungan dalam menyusun HPS. Bukan dalam menentukan keuntungan penyedia dalam pengadaan barang/jasa. Jika HPS sudah disusun, dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan maka keuntungan penyedia dalam Harga Penawaran bukanlah kejahatan. Keuntungan penyedia seperti ini tidak dapat dibatasi karena tingkat persaingan telah dibatasi melalui HPS. Untuk itu tidak ada alasan memeriksa atau mengejar penyedia untuk menyampaikan bukti pembelian kepada distributor atau pabrikan.

Kedua; Penjelasan pasal 66 ayat 8 hanya mencontohkan saja. Artinya angka maksimal 15% itu hanyalah contoh. Kemudian angka tersebut tidak bercerita tentang batas keuntungan tetapi batas keuntungan ditambah overhead. Tidak ada persentase berapa keuntungan dan berapa overhead-nya. Lebih kemudian lagi contoh ini hanya untuk contoh pekerjaan konstruksi. Bukan untuk pengadaan barang, jasa lainnya atau konsultansi.

Parahnya argumen ini dipatahkan oleh Perka LKPP 14/2012 tentang petunjuk teknis Perpres 70/2012. Dimana dalam menjelaskan penyusunan HPS Barang disebutkan dengan tegas bahwa :

Dalam menyusun HPS telah memperhitungkan:

  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
  2. keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia maksimal 15% (lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN;

Sepertinya ini PR besar kebijakan karena hal ini terus terang berpotensi menyesatkan pelaksana, pemerhati, pengawas dan penindak terkait pengadaan barang/jasa. Ada tafsiran yang belum sinkron antara batang tubuh dengan petunjuk teknis.

Untuk pengadaan barang keuntungan sangat-sangat tergantung dengan mekanisme pasar pada saat proses pengadaan dilakukan atau pada 28 hari sebelum batas akhir pemasukan. Ada persoalan supply dan demand disana. Ada persoalan peta persaingan pasar penyedia dan sebagainya. Yang hukum pasarnya sudah ditelurkan dalam beratus-ratus teori. Contoh kecil jika jumlah barang dipasaran sedikit sementara pembeli/kebutuhan meningkat maka secara otomatis harga pasar tinggi. Meski harga pokok pembelian penyedia sebelum permintaan meningkat sangat murah tidak bisa dijahatkan penyedia menawarkan harga tinggi.

Pengakuan tentang ini sebenarnya tertuang pada perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 70/2012 Paragraf Tentang Penyesuaian Harga Pasal 92 ayat 3 bahwa dalam penyesuaian harga untuk menetapkan Koefisien Tetap yang terdiri atas keuntungan dan overhead jika penawaran tidak mencantumkan besaran komponen keuntungan dan overhead maka Koefisien Tetap = 0,15 (15%). Ini maknanya dalam memperhitungkan keuntungan pada harga penawaran penyedia diserahkan kepada penyedia. Terkecuali penyedia tidak mencantumkan maka baru diambil simpulan 15%.

Disamping itu tidak ada satu literatur lain yang menyebutkan persentase tertentu untuk menentukan keuntungan yang wajar pengadaan barang. Kalau untuk pekerjaan konstruksi memang ada. Salah satunya Standar penyusunan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Balitbang Kementerian PU tahun 2012 dimana disebutkan “Jumlah Harga pekerjaan seluruh mata pembayaran ditambah dengan biaya umum dan keuntungan 15%, serta PPN 10% sehingga merupakan perkiraan (estimasi) biaya kegiatan pekerjaan”. Estimasi ini juga didasarkan pada nilai optimum yang relatif dekat dengan tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (SBI). Yang digaris bawahi adalah bahwa nilai optimum tersebut adalah Harga Pekerjaan yang terdiri dari komponen material, pekerja dan peralatan, sehingga wajar benchmarknya SBI. Kalau untuk material/barang tentu tidak beralasan.

Simpulan yang bisa saya ambil, mohon koreksi jika keliru, adalah :

  1. 15% bukanlah batas maksimal keuntungan penawaran penyedia.
  2. 15% adalah batas maksimal keuntungan yang wajar dalam menyusun HPS pekerjaan kontstruksi atau pekerjaan yang terdiri dari input material, peralatan dan SDM.
  3. 15% bukanlah batas maksimal keuntungan yang wajar dalam menyusun HPS Barang karena sangat tergantung pada harga pasar 28 hari sebelum batas akhir pemasukan.

Demikian bahasan ini semoga bisa membuka diskusi yang lebih baik dalam menelaah Harga dalam proses pengadaan barang/jasa.

69 thoughts on “Keuntungan Penyedia Tidak Boleh Lebih dari 15%? Ngawur?”

  1. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan peraturannya, hanya mungkin kita (penegak hukum yang kurang perkara) yang agak keliru menafsirkannya.

    Merujuk ke Perka LKPP 14/2012, bahwa “keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia maksimal 15%” itu adalah ketika PPK menyusun HPS, maka maksimal faktor keuntungan yang dibolehkan adalah 0,15 (15%). Namun, jika penyedia dapat mengambil keuntungan di atas itu, seharusnya tidak jadi masalah.

    Misalnya, ketika PPK survey, harga barang Rp100,- lalu ditambah 15% sehingga HPS = Rp115,- sebelum PPN.

    Lalu ketika penyedia membeli barang dimaksud, dia mendapat diskon atau pengurangan harga karena sebab-sebab lainnya, katakanlah harganya menjadi Rp90. Jika penawarannya tetap Rp115,- sebelum PPN, inilah yang sering dianggap mark-up, karena keuntungannya sudah lebih dari 15%, padahal faktor 15% itu hanya batas maksimal ketika PPK menyusun HPS, selanjutnya terserah mekanisme pasar.

    1. Pak Kujang: yang tidak berdasar sebenarnya pada perkara 14 pukul rata batas wajar 15% itu.. padahal batang tubuh hanya mencontohkan konstruksi dan itupun ada dasar teoritisnya… kalau kita pelajari K80 clear tdk ada tentang 15% itu.. ini yg menimbulkan kesalahpahaman.. jadi aturan jg punya andil..

  2. Bener, Pak.
    Namun bagaimana pun juga, maksimal profit pengadaan barang sebesar 15% itu sudah jadi hukum positif, nah tinggal bagaimana cara memahaminya saja.

    1. Pak Kujang101: Hukum positif bagi penyusunan HPS tapi bukan hukum positif untuk penawaran penyedia… selama HPS mengacu pada hukum positif maka harga penawaran penyedia dibawah HPS adalah legal… terkait hukum positif yang keliru semoga akan segera diperbaiki…

  3. Iya, sama pemahaman kita, Pak Samsul.

    Makanya pada post #1 di atas saya katakan Penyedia yang menawarkan Rp 115 (belum PPN) padahal barang dibelinya dari distributor hanya Rp 90 tidak termasuk kategori ‘melanggar hukum’.

  4. bila pada ranah hukum dalam perkara persidangan kasus pbj, tentu menjadi perkara hukum yang dinamis dan ini menjadsi ketakutan tersendiri bila hakim atau jaksa tidak menjadikan perprres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 70/2012 menjadi acuan….terima kasih….

    1. Pak Fauzy : Mungkin perlu diluruskan adalah tentang 15% memang tertuang dalam Perpres 54/2014 sebagaimana diubah dengan Perpres 70/2012. Artikel ini sama sakali tidak mengajak APH tidak mengacu Perpres 54/70. Namun mengajak melihat lebih jernih lagi bahwa ttg 15% ini adalah tentang menyusun HPS bukan tentang menilai kewajaran penawaran penyedia. Jadi dalam mengambil dasar hukum juga tidak bisa serampangan tentunya.
      Yang kedua klausul 15% ada dipasal penjelasan dan berupa “contoh” yang tentu kekuatan hukumnya sudah bisa diukur sebagai permisalan bukan pasal absolut, apalagi disebutkan “contoh untuk konstruksi”.
      Ketiga bahwa Perka 14/2012 mengungkapkan ini juga tentang barang disinilah letaknya kekeliruan itu, tentu APH akan mengacu pada hukum positif yang tertuang. Yang ingin saya gambarkan adalah bahwa Konten Perka 14/2012 sebagai lampiran dari Batang Tubuh masih bisa dipertanyakan dari sisi kekuatan hukum semisal kekuatan hukum petunjuk teknis (batas keuntungan yang wajar utk hps maksimal 15%) tentu tidak lebih tinggi dari penjelasan (yang hanya menyebutkan contoh utk konstruksi maksimal 15%) demikian juga dengan batang tubuh yang sama sekali tidak menyebutkan tentang 15%.

      Yang paling kuat dan mendasar seperti dalam simpulan bahwa Pasal 66 Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 70/2012 bukan tentang menilai kewajaran penawaran penyedia tapi tentang menilai kewajaran harga dalam menyusun HPS.

  5. Menurut hemaat saya, batasan 15% itu adalah nilai maksimum yang boleh digunakan untuk menghitung suatu Harga Satuan Pekerjaan, setelah dihitung Kebutuhan Real untuk Bahan, Alat dan Tenaga Kerja sesuai dengan harga Terjadi pada lokasi pekerjaan.

    Ini berarti hanya sebatas Nilai Harga Satuan Pekerjaan dan Nilai Total HPS yang dibutuhkan oleh Pokja untuk mengevaluasi suatu tawaraan. Tidak ada hubungannya dengan Keuntungan yang akan bisa didapat oleh rekanan, apalagi alokasi 15 % adalah untuk Overhead dan Profit.

    Seyogyanya pengunaan angka Maksimum 15 % dalam pelaksanaanya adalah juga diperhitungkan perkiraan besarnya Overhead yang bervariasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan proses pengadaan tsb. sementara khusus untuk Profit bisa kita tetapkan suatu nilai tertentu, sehingga dalam setiap Harga Satuan Pekerjaan nilai yang kita berikan dalam suatu Kisaran ( Tidak harus tetap !%% )

    Terima Kasih Wass

  6. Kok aturan ngebahas “keuntungan penyedia” yah..? jelas aneh, berarti memang ada pola penyusunan HPS yang menambahkan “keuntungan” sehingga dianggap perlu aturan tentang “keuntungan”… atau mau dikorek pembukuan penyedia .? penyedia kan menawar berdasarkan HPS yg dibuat PPK, lalu siapa yang mark up..? penyedia terlibat markup..? kalau tidak ada indikasi persekongkolan apa dosa penyedia menawar sedikit dibawah HPS..?

    kembali konsen ke penyusunan “HPS” sajalah.., coba buat petunjuk teknis itu bener bener jelas, sehingga PPTK bisa menerapkannya dan sesuai SOP secara Nasional, dan risalahnya bisa dipertanggung jawabkan ke BPK/BPKP, mulai dari sumber perkiraan harga jelas terdokumentasi mis :
    – dokumen kontrak sebelumnya,
    – survey harga di distributor/toko di kota tempat pekerjaan/barang dilaksanakan.
    – standart harga dari badan statistik
    kalau risalah/dokumen persiapan HPS ini wajib dilampirkan, saat pemeriksaan oleh inspektorat / BPKP, saya yakin kita tahu siapa yang bertanggung jawab jika terjadi markup.

    1. Pak Dex_ley: Sepakat pak.. inilah pola penanganan pemeriksaan yang keliru yang sering diterapkan oknum pemeriksa atau APH… yang sangat dirugikan semua pihak baik pelaksana dan penyedia..

  7. Trims Pak Samsul tulisan Bapak dijadian acuan untuk menjelaskan saya sebagai PPK di RSUD dr Soekardjo Kota tasikmalaya, yang selalu ditanya pertanggung jawaban oleh SPI (insfektoratnya RSUD)

  8. mis: jika hrg franko jakarta 1000, sementara kami didaerah, utk ongkir brg saja sdh mencapai 25% dari hrg franko jakarta hingga brg itu smp kedaerah kami… jd brp kah hrg HPS yg hrs buat?? mohon pencerahan…

    1. Pak Raya: Jika memang barang yang dibutuhkan hanya ada di Jakarta maka dalam menyusun data kertas kerja hps wajib ditambahkan biaya pendukung yaitu ongkos kirim dari sumber barang. Data Kertas kerja ini kemudian dimasukkan dalam komponen HPS. Dengan demikian biaya akibat jarak ini sudah diperhitungkan dalam HPS.

    2. Pak Ramli, bagaimana dgn HPS untuk barang KHUSUS yg belum ada di indonesia, apakah sebagai pengusaha saya diperbolehkan untuk mengambil keuntungan diatas 15%? Apakah bea masuk (cukai) akan diminta sbg lampiran?

      1. pengusah mau ambil untung berapapun adalah hak mereka tidak boleh ada yang membatasi. PPK lah yang wajib memperhitungkan harga pasar agar tidak terjebak pada mekanisme pasar. Jika memang barang khusus dapatkan informasi harga melalui titik pasokan dibelakang produk termasuk semua biaya2. Untuk barang khusus ini lengkapi informasi dengan informasi2 transaksi barang serupa dengan pembeli2 lain pada jangka waktu yang tidak berjauhan.

  9. tambahan.. berhubung produk/brg tersebut tdk ada didaerah kami…
    mk nya kami hitung berdasarkan hrg franko jakarta..

  10. jika ada 2 penyalur yg menawarkan harga berbeda, hrg mana yg kita gunakan utk menyusun HPS? apakah diperbolehkan kita menggunakan rata2 dr dua penyalur tsb??

    mis : hrg penyalur A = 1000, hrg penyalur B = 2000….
    bolehkah kita menggunakan dasar penyusunan HPS menggunakan hrg 3000/2 = 1500…

    mohon pencerahannya..

  11. catatan : penyalur berada pada daerah yg sama tp menwarkan hrg yg berbeda, selisih hrg hampir setengah dr penyalur lainnya…

    hrg mn yg hrs sy gunakan??

  12. Salam Kenal Pak,
    Terkait pertanyaan pak Raya, ingin saya tambahkan apabila ada kasus seperti ini :
    Terdapat RAB sebesar 145 Juta untuk Pengadaan 30 unit AC. Bagaimana penyusunan HPS yang dapat dipertanggunjawabkan apabila dikaitkan dengan hal – hal berikut ini :
    1. Survei harga di toko A :
    Harga AC per unit 4.050.000, biaya pengiriman tidak ada, potongan 1 % untuk pengiriman di atas 10 unit, biaya pasang 100.000 / unit.
    2. Survey harga di toko B :
    Harga AC per unit 3.600.000, biaya pengiriman Rp 50.000/unit, biaya pasang 100.000 / unit.
    Mohon Penjelasannya.

    1. Pak Fikran: Idealnya harus melihat spesifikasi dahulu baru menyusun HPS… saya anggap semua cateris paribus saja…
      Untuk Kertas kerja :
      Informasi 1:
      Harga Penjualan : (4.050.000 x 10 unit) – 1% = 40.095.000 x 3 = 120.285.000. [ Harga Satuan Perkiraan Info 1 = 120.285.000 : 30 unit= 4.009.500,- ]
      Biaya Pendukung : Pasang = 100.000 x 30 = 300.000
      Total : 120.585.000,-
      Informasi 2:
      Harga Penjualan : 3.600.000 x 30 = 108.000.000. [ Harga Satuan Perkiraan Info 2 = 3.600.000 ]
      Biaya Pendukung :
      Pengiriman: 50.000 x 30 = 150.000
      Pasang: 100.000 x 30 = 300.000
      Total : 108.450.000,-

      HPS:
      Karena data yang didapat terbatas hanya 2 maka pilihan penyusunan HPS menggunakan asumsi sesuai pertimbangan subyektif PPK misal :
      Harga Penjualan dipilih rata-rata = (3.600.000,- + 4.009.500) : 2 = 3.804.750 x 30 = 114.142.500
      Biaya Pendukung digunakan seperti ini:
      Pengiriman: 50.000 x 30 = 150.000
      Pasang: 100.000 x 30 = 300.000
      Jumlah : 114.592.500,-
      PPN 10% : 11.459.250,-
      Total : 126.051.750,-
      Semoga sedikit contoh ini bisa membantu.. yang patut dicatat adalah HPS adalah seni memperhitungkan bukan perhitungan yang statis matematis semata. Kata kuncinya data dan formulasi perhitungan dapat dipertanggungjawabkan.

  13. malam pak…
    semoga bapak dan keluarga dalam keadaan sehat…
    saya ingin menanyakan perihal :

    Jika kita ingin membuat pengadaan software untuk aplikasi pengelolaan barang (aplikasi baru), sementara kita sudah memiliki software aplikasi pengelolaan barang yg lama (yang biasa kita gunakan dari tahun 2011 dan kita anggap sdh mendekati sempurna namun tidak bs terkoneksi ke internet) dan kita jg memiliki software aplikasi dari pusat (blm pernah digunakan berhubung baru kita terima dan dpt digunakan dgn sistem koneksi, namun kita menilai blm sempurna berhubung tidak adanya bbrp fitur2 yg kita butuhkan didlm aplikasi tsb)..

    1. apakah kita bs membuat pengadaan baru dgn mengkobinasikan kedua aplikasi software tsb (aplikasi lama dan aplikasi dari pusat)??
    2. dan jika jawaban atas p’tny no.1 bisa, bagaimana pada pembuatan spek utk kombinasi aplikasinya??
    3. apakah pada rincian biaya kita bisa menambahkan biaya konsultasi utk pengadaan software tsb berhubung kita tdk menguasai pemograman?? klo bs, brp % anggaran utk konsultasi dari nilai pagu??

    sekian pertanyaan saya, dan sebelumnya sy ucapkan terima kasih atas pencerahan bapak..

    salam sukses..

    1. Mba/Mas Raya: Dari hemat saya jika permasalahannya tentang bisa atau tidak terkoneksi dengan internet jika memang aplikasi 2011 sudh memenuhi kebutuhan dan sesuai aturan dapat dilaksanakan oleh teknisi jaringan saja, terkecuali aplikasi ini terkoneksi dengan sistem yang lain maka perlu ahli/programer. Untuk pertanyaan 1. Bisa. 2.tentang spesifikasi saya tidak menguasai karena teknis sekali jadi silakan dibuat KAK umum yang dibutuhkan dan ini pengadaan konsultansi. 3. Memang harusnya pengadaan konsultan.

  14. malam pak…

    terima kasih sebelumnya
    terkait p’tny saya diatas pada point 1..
    apakah secara hukum p’adaan memperbolehkan kita utk :
    a. memodifikasi software aplikasi yg sdh ada??
    b. bagaimana jika pada DPA yg telah diterbitkan kita m’adakan software aplikasi+unit komputer, sementara kita hanya mengadakan software aplikasi tanpa unit komputer, berhubung :
    1. unit komputer yg sdh ada (dgn software lama) msh qualified dgn software yg baru dan biaya untk p’adaan utk unit komputer kita kembalikan lagi ke kasda,
    2. dan atau kita gunakan anggaran unit komputer tsb sbg tamabahan biaya utk pengadaan software baru (berhubung biaya yg kita anggarkan sebelumnya utk software pada DPA tidak mencukupi utk p’adaan software yg baru??

    mohon bimbingannya

    best regard,

    raya

    1. mohon dijelaskan dgn dasar hukum yg jelas, agar sy tidak ragu utk berbuat atas dasar pengabdian….

      saya percaya bapak bs memahami posisi saya…

      salam hormat….

    2. Mba raya:
      a. Boleh selama aplikasi tersebut sudah menjadi hak milik pengguna (UU Hak Cipta).
      b. Silakan dikonsultasikan dengan PA dan Pihak Keuangan karena nanti akan berdampak pada revisi DPA, jika bisa silakan…

  15. maaf pak mau tanya, sewaktu melakukan survey harga pasar didaptkan harga Rp. 1000 (belum termasuk PPN Pabrikan, PPN yang dibayarkan Pabrikan ke negara sewaktu penyedia membeli barang), maka sewaktu menyusun HPS harga pasar menjadi Rp. 1000 x PPn Pabrikan 10% x 15 % Keuntungan, belum termasuk ppn 10% di rekapitulasi HPS, arti kata 2 kali kena PPN pak, apakah benar demikian?????

    1. Pak Roky: Hemat saya yang Bapak maksud PPN Pabrikan adalah PPN barang ketika penyedia membeli barang ke Pabrikan. Dalam istilah perpajakan terdapat 2 istilah pajak yaitu Pajak masukan dan Pajak Keluaran. Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Jadi obyeknya adalah barang. Dalam istilah saya ini adalah pajak barang. Maka dari itu dapat disebut PPN Masukan/PPN Barang. Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP). Jadi obyeknya adalah yang menjual atau penyedia. Dalam istilah saya ini adalah pajak penyedia. maka dari itu dapat disebut PPN Keluaran/PPN Penyedia.

      Sekarang pertanyaannya target penyedia Bapak apakah pabrikan atau distributor atau agen atau toko? Jika kebutuhan Bapak adalah kebutuhan yang umumnya dapat dipenuhi oleh toko menurut saya harus memperhitungkan PPN Masukan saat memasukkan Harga Pokok barang tersebut ke dalam HPS. Kemudian karena toko nantinya menjadi penyerah BKP/JKP kepada pemerintah maka HPS juga harus mempertimbangkan PPN Keluaran sebagai kewajiban pemungut (pemerintah). Apakah ini PPN ganda? Tidak juga karena obyek dan subyeknya berbeda. Maka dari itu ketika survey data HPS ambil lah data yang wajar yaitu yang terdekat dengan kebutuhan kita. Jika kebutuhan umumnya dapat dipenuhi Toko maka mencari informasi harga pabrikan adalah berlebihan. Demikian juga sebaliknya jika nilai kebutuhan sangat besar dan kompleks yang umumnya dapat dipenuhi distributor maka mengambil data dari retail/toko adalah tidak tepat.

      Yang perlu diperhatikan adalah Pajak Masukan diperhitungkan dalam Kertas kerja HPS karena sifatnya masih data setengah matang yang nantinya diolah sebagai bahan data jadi HPS. Sedangkan Pajak Keluaran sesuai Perpres tertuang dalam rekapitulasi HPS.

  16. Menurut saya, Persoalan mark up disini biasanya terjadi karena pada saat penyusunan HPS, PPK pada saat survey pasar tidak memperoleh informasi mengenai adanya diskon yang cukup besar (biasanya untuk alkes bisa sampai 40% dari price list) nah apakah dari strategi marketing ini kita berpendapat bahwa sah saja penyedia B/J memperoleh keuntungan yg tidak wajar..?? atau PPK yang lalai tidak dapat memperoleh harga wajar setelah diskon..?? Mohon pencerahannya…karena ini kasus mark up yg sering dipermasalahkan oleh APH, apakah harga pasar yang wajar termasuk diskon atau tidak, tks.

    1. Pak Roely : Dari sisi penawaran tidak ada keuntungan yang tidak wajar.. disinilah pentingnya HPS untuk menilai kewajaran penawaran penyedia disisi kita. (karena kewajaran sangat subyektif sifatnya). Jadi ukurannya jika dibawah HPS adalah wajar, dengan catatan tidak ada barang palsu atau ilegal atau pelaksanaan pekerjaan yang melanggar hukum. Disinilah peran penting penyusunan HPS yang mempertimbangkan segala informasi yang didapatkan, semakin banyak informasi semakin baik. Jika informasi diskon didapatkan pada saat survey HPS maka harus diperhitungkan dalam penyusunan HPS, jika tidak maka ini potensi kemahalan. Artinya PPK harus bisa mempertanggungjawabkan kemampuan dan keterbatasannya dalam mendapatkan informasi, selama informasi diskon yang tersembunyi tersebut memang benar2 dapat dipertanggungjawabkan menurut saya PPK tidak dapat dijahatkan.

  17. Pak, bagaimana sebaiknya kami menghadapi APH/auditor bila berhadapan dengan kasus seperti ini? mengingat dalam tahun ini saja sudah ada 2 orang PPK di daerah kami yang menjadi “korban” perbedaan persepsi dalam menilai keuntungan penyedia? dan berapa sebenarnya keuntungan yang dianggap wajar itu? terimakasih

    1. Pak Heriyanto: jika terkait auditor maka paling akhir auditan boleh menggugat PTUN atas temuan, paling rendah memberikan nota keberatan terhadap LHP sebelum difinalisasi. Untuk APH harus disesuaikan dengan tahapan ada baiknya pada saat sebelum penyidikan PPK didampingin tim bantuan hukum dimana salah satunya dilengkapi oleh ahli pengadaan yang memahami konsep harga ini.

  18. bagaimana kalau dalam pengadaan barang/jasa itu sifatnya penunjukan langsung kepada penyedia.jika harga material dalam HPS di RAB diduga terlalu mahal atau jauh diatas harga dilokasi pekerjaan.dengan alasan PPK perkiraan harga diambil dari satu titik atau tangkahan.padahal dilokasi tersedia material.dari Kaer surya.Sumatra Utara

    1. Pak Kaer Surya: Tentu harus dilihat dari riwayat penyusunan HPS dan Justifikasi teknis dari penyusun HPS yaitu PPK. Dugaan kemahalan harus dibuktikan atas dasar pemeriksaan terhadap kebenaran justifikasi dan riwayat kerja HPS tidak fair jika atas asumsi dari orang lain selain para pihak yang mengadakan barang/jasa.

    1. Mba shinatria: Bedakan pembahasan keuntungan disisi HPS dengan keuntungan disisi penawaran penyedia. Batasan 15% dalam batang tubuh Perpres 54 ada 3 hal yang harus dilihat 1. ini contoh untuk Konstruksi, 2. 15% bukan keuntungan tapi Keuntungan + OH, 3. ini bahasan tentang HPS bukan penawaran. Jika contohnya alat perkantoran tentu angka 15% tidak bisa digunakan sebagai dasar perkiraan keuntungan dalam perhitungan HPS.

  19. Pak Samsul,
    jadi pertanyaan, kalo di SSUK memang akhirnya ditentukan dan dicantumkan keuntungan maks 10%, dan kontrak sudah di sign apa ini tidak jadi patokan karena sudah dalam HPS atau bagaimana?

  20. Ass.WWW Pak Samsul dan Pemerhati dan Pengkaji di Ruang ini !!!
    Masalah keuntungan, menurut hemat saya tepatnya dalam era kompetisi dan globalisasi kini, persentasenya sebaiknya tidak dicantumkan dalam aturan dan kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dibangun. Karena dengan adanya nilai persentase maksimal maupun minimal yang tercantum jelas tidak akan membuat “sehatnya” persaingan. Seperti dalam kegiatan Jasa Konstruksi, keuntungan itu sebenarnya sangat ditentukan oleh cara dan metode yang akan dipakai dan gunakan dalam melaksanakannya, oleh pihak kontraktor. Karena metode yang baik akan sangat berpengaruh terhadap waktu dan mutu konstruksi itu sendiri. Sedangkan waktu jelas akan dipengaruhi pula oleh , medan (lokasi), jumlah TK serta alat dan perlengkapan yang digunakan. Dan selain itu untuk kegiatan konstruksi, sebelumnya juga telah dihitung oleh konsultan yang lazim juga disebut dengan Estimate Engginer (perhitungan tenaga ahli team konsultan), dan bila HPS di buat pula oleh unsur kegiatan atau PPTK sepengetahuan KPA, maka secara langsung dan tidak langsung pihak unsur kegiatan telah mengambil alih tanggungjawab konsultan, dan kegagalan konstruksipun juga dapat beralih kepada pihak unsur kegiatan (PPTK/KPA), karena harga jelas akan mempengaruhi mutu dari konstruksi. Dan untuk itu masalh keuntungan pihak kontraktor atau penyedia sebaiknya juga mulai dipikirkan sesuai dengan, sejauh mana waktu percepatan dapat dilakukan oleh pelaksana itu sendiri, mohon maaf bila kurang tepat. Wassalam.

  21. Salam,
    Pertanyaan saya sedikit berbeda Pak. yang tercantum dalam aturan adalah batas maksimum dari ke untungan, bagaimana denngan batas minimum. adakah aturan yang di jadikan acuan.

    Terima Kasih.

    1. Pak natailus: Seperti dalam artikel saya tdk pernah diatur batas keuntungan penyedia baik minimal atau maksimal… yg dibatasi adalah perhitungan HPS dan batas minimal tsk diatur

  22. Pak, mohon tanya terkait pengambilan harga rata2 dlm perhitungan hps pd pertanyaan ini.. jika dikaitkan dgn UU No.17 Tahun 2013 pasal 3 ayat 1 dimana disebutkan keuangan negara dikelola salah satunya ekonomis, knp tidak diambil saja hasil survey toko B (lebih murah) utk dijadikan dasar penyusunan hps..??
    Lalu, yg saya ingin tanyakan lg terkait dgn penjelasan pak kujang, dimana dijelaskan apabila harga yg tertera di hps dimisalkan 100, tetapi pada pelaksanaannya ternyata penyedia saat membeli ke distributor mendapatkan diskon menjadi 90. Yg saya ingin tanyakan knp PPK dlm melakukan survey tidak melakukan survey jika barang tersebut diambil dlm jumlah banyak (asumsi diskon biasanya diberikan jika barang dibeli dlm jumlah banyak), sehingga harga satuan setelah diskon tersebut yg dijadikan dasar dlm menyusun hps (tentunya ppk jg telah memperhitungkan bahwa barang yg ingin diadakan dalam jumlah banyak, misalnya dlm pengadaan komputer sebanyak 30 komputer, harga satuan utk pembelian 1 komputer bisa berbeda dgn harga satuan pembelian 30 komputer, berkemungkinan pembelian 30 komputer bisa mendapatkan hrga satuan yg lebih murah jika dibandingkan dgn 1 komputer, sehingga ppk dlm menyusun hps sebaiknya memasukan harga satuan utk 30 komputer)..
    Mohon pnecerahannya pak.. terima kasih..

    1. Bu Risma: Ekonomis menurut saya bukan tentang harga terendah tetapi kepada nilai manfaat yang terbaik atau sering disebut Value for Money. Gagal lelang akibat terlalu rendahnya hps karena mengambil data harga terendah misalnya bisa jadi low value add cost. Maka dari itu banyak aspek subyektif yang menjadi pertimbangan sesuai kondisi dan suasana kebatinan pengambil keputusan saat itu. Kalimat “kenapa tidak” yang ibu pakai juga merupakan unsur subyektif sesuai kondisi kebatinan ibu saat menilai kasus ini, untuk itu agar penilaian obyektif atas setiap keputusan yang diambil semestinya menggunakan kacamata keekonomisan 5W1H saat pengambilan keputusan.

      Termasuk untuk menjawab pertanyaan ibu yang kedua maka dapat saya sebutkan kondisi yang ibu sebutkan adalah asumsi sebagai orang diluar pengambilan keputusan. Sedikit saya tanggapi tentang diskon yang didapatkan penyedia, yang harus dipertimbangkan belum tentu pembelian pemerintah yang diwakili PPK adalah pembeli ketitik distribusi akhir atau distributor. Jumlah pembelian menentukan respon pasar, distributor punya kapasitas pembelian yang mereka mau layani jadi diskon pembelian penyedia ke distributor belum tentu merupakan informasi harga pasar sesungguhnya, meski demikian data tersebut tetap jadi pertimbangan meski tidak diambil sebagai dasar putusan. Asumsi yang ibu sampaikan atau logika yang ibu sampaikan memang patut dipertimbangkan tapi logika/asumsi tersebut bukan aturan baku/hukum yang selalu terjadi.

      Poin dasarnya penilaian obyektif harus didasarkan pada data/fakta yang terjadi saat itu juga sangat bergantung pada keterjangkauan informasi/data yang didapatkan tim PPK.

    2. saya sependapat dgn mba risma. sebaiknya ppk dalam menyusun hps barang juga memperhatikan kuantitas barangnya. sehingga jelas terdapat perbedaan harga antara pembelian jumlah sedikit dan jumlah banyak.
      namun, permasalahan kesalahan penyusunan hps / kemahalan hps tidak bisa serta merta menjadikan ppk bersalah… hal tersebut sangat terkait dengan proses pengadaan itu sendiri, apakah sebelumnya sudah diatur atau tidak. apabila proses lelangnya jujur tentu akan menghasilkan harga pasar yang baik.
      biasanya kesalahan kemahalan hps yang dapat dijadikan “kesalahan” adalah apabila dilakukan dengan proses pengadaan langsung atau penunjukkan langsung.

      1. Pak/Bu Sayoko: perlu dibedakan antara kesalahan dan kejahatan. Pengaturan adalah perbuatan jahat yang muncul karena niat jahat. Setiap kejahatan pastilah sebuah kesalahan, namun kesalahan belum tentu sebuah kejahatan. Untuk itu penting buat PPK melengkapi diri dengan riwayat penyusunan HPS yang se detil mungkin, agar putusan merupakan proses yang akuntabel tanpa niat jahat.

  23. Pada waktu itu saya melihat ada pengumuman lelang di Pokja kabupaten kotim, ada 9 paket yang dilelang saat itu, setelah saya lihat paket2 yang ada saya tertarik mengikuti lelang pengadaan alat analisis udara pada BLH kabupaten kotim dan saya pun mendaftar. Lalu saya mendapatkan dokumen lelang dari panitia lelang yang ada di Pokja tersebut. Dari dokumen lelang itulah saya mendapatkan spesifikasi dari alat analisis udara tersebut. Mulailah saya browsing di internet, lalu saya mendapatkan distributor / vendor untuk alat tersebut. Nama distributornya PT. INDO TEKHNO PLUS. Kemudian saya menanyakan berapa harga alat tersebut dengan mengirimkan spesifikasi yang saya ambil dari dokumen lelang itu. Selanjutnya distributor mengirimkan penawaran harga pada saya. Dari harga distributor dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) itulah saya membuat penawaran pada panitia lelang dengan asumsi menurunkan harga kurang lebih 7% dari HPS yang sudah ditetapkan dalam dokumen pengadaan tersebut. Pagu dana dari alat tersebut sebesar RP 805.000.000; dan nilai HPS sebesar RP 801.060.000; dan penawaran saya waktu itu sebesar RP 736.445.000; . Setelah pengumuman lelang saya melihat perusahaan saya menjadi penawar terendah dari 6 perusahaan lain yang juga memasukan penawaran dipaket itu. Dan diumumkan lah bahwa perusahaan saya sebagai pemenangnya. Setelah itu panitia menunggu beberapa hari tidak ada peserta / perusahaan lain yang menyanggah. Ditetapkanlah perusahaan saya sebagai pemenangnya. Setelah itu tandatangan kontrak lah saya bersama PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Kemudian saya memesan alat kepada pihak distributor pada tgl 22 Juli 2011, pada tgl 25 Juli 2011, saya mendapat surat dari pihak distributor bahwa alat yang saya pesan dengan merek PM 10 HIGH VOLUME AIR SAMPLER, type 3.500 AFC tidak diproduksi lagi oleh pabrik di Amerika, dilampiri juga surat dari pabrik di Amerika, dan diganti dengan mrek PM 10 HIGH VOLUME AIR SAMPLER. TYPE 4200 AFC. Disertai juga dengan keterangan dari pihak distributor dan pabrik bahwa Type 4200 AFC itu mempunyai 3 poin kelebihan dari type sebelumnya yaitu type 3500 AFC dengan harga yang di berikan kesaya sama seperti sebelumnya. Dengan dasar surat distributor dan dari pabrik tersebut kemudian saya mengajukan Adendum kepada pihak BLH, oleh kepala BLH waktu itu saya bersama PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) disarankan berkoordinasi pada Inspektorat. Oleh inspektorat waktu itu dikatakan kepada kami bahwa jika barang atau alat yang diadendum itu speknya lebih rendah maka tidak bisa tetapi bila speknya sama atau lebih lebih tinggi dan harga kontrak tetap sama maka tidak dipermasalahkan. Dengan pertimbangan itu dan juga melihat kelebihan alat dibanding dengan type sebelumnya serta membaca pp 54 thn 2010 dan juga dokumen kontrak akhirnya permohonan saya untuk adendum disetujui oleh pihak BLH. Setelah penandatangan adendum mengenai Spek alat dan juga penambahan waktu pelaksanaannya, mengapa ditambah waktu pelaksanaannya karena distributor memerlukan waktu untuk memesan alat tersebut karena alat tersebut diproduksi di Amerika. Akhirnya saya pesanlah kepada distributor alat sesuai Spek yang dimaksud dalam Adendum kontrak tersebut. Setelah beberapa lama menunggu akhirnya datanglah alat yang saya pesan tersebut dan langsung saya serahkan kepada pihak BLH. Tetapi alat tersebut belum berani kami buka dari bungkus atau pakingnya karena kami menunggu teknisi dari pihak distributor datang dari Jakarta. Setelah pihak distributor datang maka kami bersama-sama membukanya. Dan langsung diadakan pelatihan dari pihak distributor kepada orang2 BLH tentang pengoperasian alat tersebut. Pelatihan tersebut dilaksanakan selama dua hari, satu hari di BLH dan satu hari di perusahaan sawit. Tapi di perusahaan sawit apa saya sendiri tidak tahu karena saya tidak diperlukan ikut oleh PPTK waktu itu. Setelah pelatihan itu selesai maka saya buatlah berita acara serah terima barang kepada pihak BLH. Dan saya mengajukan pembayaran kepada pihak BLH dan dibayarkanlah sesuai dengan nilai pada kontrak saya, dan selesailah pekerjaan itu. Seiring berjalannya waktu, paket pekerjaan itu diperiksa oleh kejaksaan Sampit karena dianggap ada merugikan negara. Dan ditetapkanlah PPK pekerjaan tersebut sebagai tersangka. Dengan dakwaan tidak membuat HPS, yang baru belakangan ini juga saya ketahui alasannya penetapan tersangka PPK tersebut. Dan Baru2 ini saya saya juga ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kejaksaan yang sampai saat ini saya tidak tahu alasannya apa? Terus terang saya tidak habis pikir dengan penetapan saya sebagai tersangka, katanya disinyalir saya menetapkan harga tidak sesuai dengan acuan yang ada, diduga mark- up, sehingga terjadi pengelembungan harga atau harga yang tidak wajar. Ini yang sangat aneh buat saya karena kewenangan menentukan pagu anggaran serta HPSnya itu ada pada pihak dinas bukan pada saya. Saya membuat penawaran karena di pengumuman lelang itu HPSnya sudah ada atau ditentukan didalam dokumen lelang waktu saya mendaftar mengikuti lelang itu. Dan yang perlu saya tegaskan sebelum proses pengadaan ini saya tidak kenal sama KPA , PPK ataupun PPTK. Dan juga saya tidak kenal dengan 6 perusahaan yang juga memasukan penawaran pada pekerjaan tersebut. Istilah dari kata keren di bidang kontraktor adalah ” menembak” , kalau pun memang ada kerugian negara dalam pengadaan itu saya menolak disebut ikut bertanggung jawab. Karena saya melaksanakan pekerjaan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku. ADAKAH PASAL HUKUMNYA KELALAIAN ATAU KESALAHAN YANG DILAKUKAN ORANG LAIN (PPK), JUGA DILIMPAHKAN PADA ORANG YANG TIDAK TAHU APA2 ATAU TIDAK PUNYA KEWENANGAN UNTUK ITU??? Mohon tanggapan atau penilaian dari teman2 semua tentang kasus saya ini, terlebih buat teman2 kontraktor dan asosiasi kontraktor. Ini akan jadi preseden buruk bagi dunia kontraktor khususnya di kotim ini. Langkah saya selanjutnya adalah melakukan praperadilan, dengan harapan pengadilan bisa memutuskan dengan seadil adilnya. Dan seandainya praperadilan saya ditolak maka saya akan banding diakherat kelak. Dimana pengadilan ALLAH lah pengadilan yang sesungguhnya.

    1. Pak Ardianur turut prihatin dengan apa yang Bapak alami.. dari sekian panjang paparan kronologis Bapak saya hanya bisa menanggapi bahwa selama penawaran Bapak sudah dibawah HPS dan tidak ada mensrea maka tidak layak untuk dinilai sebagai kemahalan/markup jahat. Yang agak mengkhawatirkan adalah proses perubahan spesifikasi dalam kontrak meski terlihat spesifikasi yang ditawarkan dalam perubahan lebih tinggi namun perlu dilihat fakotr2 biaya pembentuk harga, karena bisa saja spek lebih baru dan dbinilai lebih baik ada fasilitasi harga yang membuat harga justru lebih rendah dari penawaran awal. Tentu tidak bisa menilai secara paripurna dengan hanya melihat kronologis sepihak harus berimbang dari data dan fakta yang terjadi dalam proses pemeriksaan dan penyelidikan. Harapan saya semoga yang terbaik buat Bapak dan negara. Aamiin…

  24. Pak saya mau bertanya
    jadi begini pak di dalam pengadaan jasa kostruksi di salah satu instansi ditemukan bahwa harga penawasan dan hps hampir setiap item pekerjaan melebihi harga yang dianggap wajar di pasaran, dimana margin bisa sampai 200%. Apakah di dalam kontrak harga satuan dimungkinkan terjadi perubahan harga satuan yg berbeda dari penawaran awal. dimana harga tersebut menyesuaikan dengan harga real dan wajar. terimakasih pak sebelumnya.

      1. saya ditawari oleh dinas tertentu untuk pembuatan server, HPS nya tinggi sekali, 100% dari harga barang.. memang sih tingkat kerumitan perakitan dan pemasangan cukup tinggi butuh keahlian khusus, tapi tetap saja saya ngeri-ngeri sedap untuk mengambil projek tsb.. apalagi sekarang denga cerita pak ardianur

    1. pekerjaan mayor dan minor dapat dibedakan dari 2 kriteria yaitu risiko dan nilai. Untuk nilai secara teori yang mempengaruhi 80% : 20% dari sisi harga. Sedangkan dari risiko harus dibuat justifikasi teknis terkait kualitas dan kuantitas pencapaian output pekerjaan.

  25. 1. keuntungan & biaya OH 15% adalah standar maks. bagi PPK dalam penyusunan HPS baik untuk pekerjaan konstruksi maupun
    pengadaan barang, sedangkan bagi penyedia silahkan sajaaaaa bebaaas, bro namun kebebasan tersebut akan terkoreksi
    dengan adanya HPS yang benar dan disusun secara keahlian.
    2. pendapat kujang101 pada post #1 benar adanya, tetapi apabila dikemudian hari ternyata terbukti dalam proses pelelangan terjadi
    kongkalikong alias perbuatan melawan hukum maka kelebihan untung dari 15% tersebut akan dianggap sebagai kerugian negara
    bahkan seluruh keuntungan dapat dinyatakan sebagai kerugian negara karena cara mendapatkannya secara melawan hukum.
    3. Terkait item no 1. (kita rujuk kepada perpres 54/2010 aja ya?) pendapat saya sbb :
    – Coba kita perhatikan secara seksama mengenai ketentuan Pasal 66 Ayat (8) Perpres 54/2010 yang menyatakan “HPS disusun
    dengan memper-hitungkan keuntungan dan biaya overhead (OH) yg. dianggap wajar”. Di manakah terdapatnya ketentuan
    tersebut?, jawabannya adalah terdapat pada “Bab. VI Tentang Pengadaan barang dan Jasa Bagian Ketujuh tentang Penetapan
    Harga Perkiraan Sendiri”, jadi ketentuan tersebut berlaku untuk penyusunan HPS Pengadaan barang/Jasa (baik pengadaan
    barang maupun pekerjaan jasa konstruksi);
    – PPK yang menyusun HPS jadi bingung dong, apa yang menjadi kriteria dan dasar hukumnya untuk menentukan keuntungan
    dan biaya overhead (OH) yang dianggap wajar tersebut? (apa… apa… apa hayooo he.. he….). Untuk menjawab hal tersebut
    kita merujuk dulu pada ketentuan Lamp. II Perpres 54/2010 ttg. tacara pemilihan penyedia barang ya? (smoga sepakat).
    – Bahwa keuntungan dan biaya overhead (OH) yang dianggap wajar “khusus tunduk pengadaan barang” terdapat pada
    Ketentuan huruf A angka 3 huruf a angka 2) d) ayat (2) Lamp. II Perpres 54/2010 ttg. tacara pemilihan penyedia barang
    yang menyatakan “keuntungan dan biaya OH yang dianggap wajar bagi penyedia maksimal 15% tidak termasuk pajak”.
    – Sudah jelaskan? ketentuan “keuntungan dan biaya OH yang dianggap wajar bagi penyedia maksimal 15% juga berlaku untuk
    penyusunan HPS pengadaan barang (sedangkan bagi “penawaran penyedia” tidak ada ketentuan khusus, jadi silahkan
    digunakan sebagai bahan pertimbangan saja dalam menyusun penawarannya).
    4. Memang di banyak kalangan telah terjadi perbedaan persepsi yaitu adanya anggapan bahwa keuntungan dan biaya overhead
    maksimal 15% (lima belas perseratus) hanya berlaku untuk penyusunan HPS untuk pekerjaan konstruksi saja. Biang keroknya
    adalah adanya kesalahan pemahaman terhadap bunyi penjelasan Pasal 66 Ayat (8) Perpres 54/2010 yang berbunyi : ” Contoh
    keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus).
    5. penjelasan Pasal 66 Ayat (8) Perpres 54/2010 yang berbunyi : ” Contoh keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk
    Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus)” tersebut bukankah hanya contoh saja! (jangan terlalu kaku dong!).
    kalau pembuat aturan mau menambahkan contoh maka bisa saja ia menambahkan contoh lain, misalnya : contoh keuntungan
    dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan pengadaan barang dapat diberikan 13% saja dan maksimal 15% tergantung
    dari pertimbangan PPK.
    6. Coba pikirkan ! jika saja benar bahwa ketentuan keuntungan dan biaya overhead yang wajar maksimal 15% hanya berlaku untuk
    untuk Pekerjaan Konstruksi saja maka :
    – ketentuan yang diatur di dalam “Bab. VI Tentang Pengadaan barang dan Jasa Bagian Ketujuh tentang Penetapan Harga
    Perkiraan Sendiri” akan terkangkangi & tidak dapat dilaksankan karena tidak ada kriteria dan dasar hukum yang mengaturnya
    (iyakan…. iyakan?) .
    – Ketentuan huruf A angka 3 huruf a angka 2) d) ayat (2) Lamp. II Perpres 54/2010 ttg. tacara pemilihan penyedia barang
    yang menyatakan “keuntungan dan biaya OH yang dianggap wajar bagi penyedia maksimal 15% tidak termasuk pajak”, mau di
    kemanakan? (iyakan…. iyakan?).

    KESIMPULAN :
    1. Benar bahwa ketentuan keuntungan dan biaya overhead maksimal 15% hanya mengikat PPK dalam penyusunan HPS;
    2. ketentuan keuntungan dan biaya overhead maksimal 15% berlaku baikl untuk pengadaan barang maupun jasa konstruksi;
    3. Please dech : yang jelas-jelas sudah jelas, jangan dibuat tidak jelas !
    4. Kalau ada yang keberatan dengan aturan tersebut silahkan ajukan gugatan uji meteri, jangan menjalankan ketentuan yang sudah
    diatur berdasar pemikiran sendiri sehingga menyimpang dari aturan yang sudah jelas, bisa-bisa kena pidana akibat adanya
    kerugian negara;
    5. Untuk para auditor yang terkadang juga ada yang beranggapan bahwa keuntungan dan biaya overhead maksimal 15% hanya
    untuk pekerjaan konstruksi saja silahkan, jadi bahan pertimbangan.
    6. Semoga menjadi Kemaslahatan bagi kita semua.
    7. Jika keliru mohon masukannya tapi pake dasar hukum ya!

    1. saya pikir saya tidak perlu menanggapi serius karena Bapak juga tidak mengharapkan diskusi.. tentang pendapat saya sudah saya tuliskan dan akan saya pertanggungjawabkan kepada siapapun.. Kalau pemahaman Bapak demikian tentu adalah hal yang benar menurut Bapak.. demikian juga saya… terimakasih atas responnya

  26. Indonesia menuju baik dan maju. Luar biasa sangat bagus pencerahan spt ini apalagi bisa di prioritaskan ke daerah2 pak samsul agar bisa seragam pemahaman seluruh daerah krn ttp ada keterbatasan dlm mengartikan bhs Indonesia yg baik di dlm ejawantahkan kepmen 16 thn 2018 dan semua turunannya. Sukses slalu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.