Setelah spesifikasi ditetapkan selanjutnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dalam ranah perencanaan pelaksanaan pengadaan, menyusun harga Perkiraan Sendiri (HPS). Pasal 66 Perpres 54/2010 secara gamblang menegaskan fungsi HPS dalam proses pengadaan serta persyaratannya.
Seperti dikemukakan dalam artikel Mengenal Rencana Pelaksanaan Pengadaan bahwa faktor harga dalam 5 prinsip value for money (VFM) selalu yang paling bontot. Karena harga sangat tergantung pada hukum permintaan dan penawaran didalam pasar. Semakin tinggi permintaan maka akan semakin tinggi pula harga barang/jasa. Semakin tinggi atau banyak penawaran maka harga akan semakin turun. Disisi lain ada faktor produksi, jumlah penyedia dan jumlah pembeli yang juga turut mempengaruhi. Hal ini menunjukkan bahwa harga didalam pasar sebagai indikator kompetisi.
Kompetisi antar penyedia diyakini akan menjadi sarana efektif bagi user untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan dengan kualitas optimal sesuai kemampuan dana yang tersedia. Maka tidak tanggung-tanggung P54/2010 menempatkan 5 prinsip untuk menjaga tingkat kompetisi yaitu terbuka, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif kemudian dibungkus akuntabilitas untuk menjaga trust atau kepercayaan semua pihak terhadap proses. Tujuan utamanya tentu mendukung tercapainya prinsip efektif dan efisien.
Dalam kerangka kompetisi inilah kemudian HPS disusun. Pasal 66 ayat 5 huruf a menegaskan bahwa HPS digunakan sebagai alat menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya. Kemudian ayat 7 menambahkan bahwa HPS didasarkan pada harga pasar setempat terkini, dikaitkan dengan ayat 2 yaitu 28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran. Jadi dapat disimpulkan HPS adalah harga pasar setempat menjelang pelaksanaan pengadaan.
Yang harus digaris bawahi adalah harga pasar! Harga pasar adalah harga pokok produksi (HPP) ditambahkan dengan pajak yang berlaku. Garisson/Noreen menyatakan bahwa HPP adalah Biaya produksi barang/jasa dalam periode tertentu yang terdiri dari biaya–biaya:
-
Biaya Bahan Baku adalah bahan yang digunakan untuk bahan jadi disebut bahan mentah.
-
Biaya Tenaga Kerja Langsung adalah tenaga kerja pabrik yang dapat ditelusuri dengan mudah ke masing–masing unit produk.
-
Biaya Overhead adalah semua biaya yang berkaitan dengan proses produksi selain bahan langsung dan tenaga kerja langsung.
Fungsi dari HPP adalah sebagai dasar untuk menetapkan harga jual yang pantas, sesuai dengan tingkat laba yang diinginkan Dengan demikian maka klop- lah pengertian yang dipahami dari P54/2010 pasal 66 ayat 8. Harga pasar sama dengan harga jual. Dasar harga jual adalah HPP ditambahkan keuntungan yang pantas/wajar. Disamping itu ketika akan diformulasikan ke dalam HPS dilengkapi dengan pajak yang berlaku seperti PPN.
Struktur Pasar
Yang terpenting terkait harga pasar adalah sourcing atau sumber data HPS. Sumber data HPS harus memperhatikan struktur pasar. Untuk melihat struktur pasar kita dapat gunakan Krajilc Box pada bahasan Barang/Jasa dan Penyedia.
Untuk barang/jasa laverage dimana jumlah penyedia dan barang berada dalam jumlah yang banyak maka kata kuncinya adalah harga terendah. Untuk itu dalam menyusun HPS hasil survey harga pasar yang diambil dapat menggunakan harga terendah. Misal, dalam survey terhadap 3 penyedia A, B dan C didapatkan harga Laptop sebagai berikut :
-
Penyedia A menawarkan Rp. 5.000.000,-
-
Penyedia B menawarkan Rp. 6.000.000,-
-
Penyedia C menawarkan Rp. 7.000.000,-
Dari data ini untuk barang laverage dapat digunakan harga Rp. 5.000.000,- sebagai harga pasar. Ini karena kita yakin dipasar jumlah penyedia yang menawarkan laptop, dengan spesifikasi yang dibutuhkan, tersedia dalam jumlah yang cukup banyak.
Untuk barang/jasa laverage sumber harga pasar biasanya diambil dari struktur pasar terendah yaitu sektor retail, eceran atau toko. Karena harga pasar diambil ditingkat eceran maka unsur keuntungan tidak perlu ditambahkan lagi. Harga ditingkat eceran adalah harga pasar dan sudah termasuk keuntungan. Jadi untuk HPS laptop pada contoh diambil Rp. 5.000.000,- + 10% PPN = Rp. 5.500.000,-.
Untuk barang/jasa routine dari sisi karakteristik barang/jasa dan penyedianya cenderung sama dengan laverage, sehingga metode pengambilan harga pasar tidak jauh berbeda. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah tingkat penawaran sangat tergantung pada repeat order bukan pada volume pembelian. Penting menekan biaya perolehan atau acquisition cost dengan consolidated procurement. Dalam menghitung HPS tidak berbeda dengan laverage.
Barang/jasa bottleneck maupun Critical Strategic sifatnya menuntut kompetensi teknis yang tinggi dari penyedia. Maka HPS mengacu pada harga diatas retail yaitu agen (distributor) dan seterusnya. Ditingkat ini harga adalah harga dasar atau HPP. Untuk menghitung harga pasar formulasinya harga dasar + keuntungan. Misal, dalam survey terhadap 3 penyedia A, B dan C didapatkan harga kendaraan bermotor sebagai berikut :
-
Dealer A menawarkan Rp. 12.000.000,-
-
Dealer B menawarkan Rp. 13.000.000,-
-
Dealer C menawarkan Rp. 14.000.000,-
Dari data ini dapat digunakan harga tertinggi Dealer C atau harga rata-rata diantara ketiganya sebagai harga dasar. Harga terendah tidak disarankan untuk diambil karena tingkat kompetisi tidak memadai. Kejadiannya bisa saja penyedia yang menawarkan harga terendah jumlahnya terbatas atau hanya 1 saja. Tentu kondisi ini akan merugikan proses pengadaan terutama terkait gagal lelang.
Karena harga pasar diambil ditingkat agen, unsur keuntungan perlu diperhitungkan. Untuk contoh kasus HPS kendaraan bermotor adalah Rp. 14.000.000,- + keuntungan yang wajar+10% PPN.
Struktur Pasar
Yang juga perlu diperhatikan adalah tingkat persaingan dalam pasar. Apabila target penyedia adalah retail atau usaha kecil maka memperhitungkan keuntungan adalah sebuah keharusan. Namun untuk paket-paket non kecil yang merupakan karakteristik dari critical strategic maka yang bermain adalah ditingkat distributor. Untuk itu faktor keuntungan dapat tidak diperhitungkan karena yang bersaing adalah distributor terkecuali sumber data harga dasar diambil dari pabrikan maka faktor keuntungan bagi distributor perlu diperhitungkan.
Kekeliruan yang sering terjadi adalah saat harga pasar diambil dari retail (toko) kemudian target penyedia dari struktur diatasnya (CV). Ada kebiasaan menambahkan faktor keuntungan pada harga retail yg didapatkan. Alasannya CV tidak akan menawar apabila tidak ada keuntungan.
Logika ini keliru, menghancurkan struktur pasar dan menyuburkan iklim usaha yang buruk. CV semestinya mempunyai kekuatan jaringan dan permodalan yang baik sehingga mampu mengakses struktur pasar yang lebih tinggi yaitu pada distributor atau pabrikan. Sehingga jumlah pembelian tentu lebih besar dari toko. Dari sisi ini keunggulan harga, CV semestinya lebih baik dari toko. Misal melalui rabat pembelian, discount ataupun fasilitas kredit pembelian.
Sehingga menjadi aneh ketika ada CV yang bertopang pada sektor retail (toko) dalam penyediaan barang. Apabila ini terjadi, dapat dipastikan CV tersebut adalah CV musiman yang tidak mempunyai peran apapun dalam struktur pertumbuhan perekonomian. CV ini core business-nya hanya menjadi penyedia pemerintah cenderung broker atau dan general trading.
Pertimbangan tingkat persaingan didalam pasar ini sangat strategis dalam rangka membangun iklim usaha yang baik. Untuk itulah Michael E Porter seorang pakar strategi mengemukakan Five Factor yang mempengaruhi tingkat persaingan. Pengetahuan ini sangat membantu PPK dalam menyusun perencanaan pelaksanaan pengadaan.
Keuntungan Yang Wajar
Problematika lain dari HPS adalah bagaimana menetapkan keuntungan yang wajar. P54/2010 menyebutkan bahwa keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi penyedia adalah maksimal 15% (lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN. Tiga kesalahan dalam memahami kalimat ini adalah :
-
Komposisi keuntungan dan biaya overhead menjadi harga mati 15%.
-
Keuntungan disamakan maksimal atau minimal 15%.
-
Proporsi umum keuntungan 10% dan overhead 5%
Komposisi 15% adalah rumusan P54 apabila tidak ditentukan lain, dilihat dari kondisi yang ada. Untuk itulah pada penjelasan pasal 66 ayat 8 dituliskan kata Contoh keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus). Artinya komposisi 15% adalah contoh atau benchmark apabila tidak ditentukan lain. Ingat prinsip akuntabel. Selama perhitungan keuntungan dan overhead akuntable maka komposisi 15% bisa saja kurang atau lebih.
Berapa komposisi keuntungan yang wajar bagi penyedia? Pertanyaan ini tentu sangat sulit dijawab karena dalam mindset harga, yang di-drive oleh pasar penyedia, tidak ada nilai yang pasti.
Di era K80/2003 digunakan angka 10%. Benar kah ini? Ada baiknya kita melihat unsur kesejarahan munculnya 10% ini. Angka 10% ini muncul dari rumusan UU No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan yang sekarang telah diubah terakhir kalinya menjadi UU no. 36 tahun 2008.
Keuntungan adalah bagian dari penghasilan. Karena itulah kemudian pemerintah menetapkan besaran pajak diambil dari bagian keuntungan, yang didapatkan dari pengadaan barang/jasa pemerintah, yang disebut Pajak Penghasilan (PPh). Besaran PPh dari bagian keuntungan dihitung berdasarkan besarnya penghasilan. Ditetapkan-lah bagian penghasilan kena pajak (PKP) sebagai dasar perhitungan.
Rumusan tarif PPH adalah hasil perkalian PKP dengan keuntungan. Keuntungan inilah yang diyakini sebagai standar keuntungan yang wajar. Rumus secara tertulisnya adalah:
% PPh = % tarif PKP x % Keuntungan atau Keuntungan = PPh / PKP x 100%
Kemudian lihat ketentuan UU PPh 17/2000 tentang nilai PKP dan PPh. Di era tahun 2000-an sebagian besar pengadaan pemerintah berada dikisaran 50 juta s/d 100 juta. Pasal 17 ayat 1.b menyebutkan bahwa tarif PKP badan-nya adalah sebesar 15%. Kemudian untuk PPh barang/jasa lainnya dipungut sebesar 1,5%. Data ini kita masukkan ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai keuntungan yang wajar menurut UU PPh.
Keuntungan = PPh / PKP x 100%
Keuntungan = 1,5 /15 x 100%
Keuntungan = 0,1 x 100%
Keuntungan = 10%
Ini adalah pola lama perhitungan keuntungan yang wajar 10% (Sepuluh Persen). Apabila ditelaah lebih dalam untuk nilai penghasilan diatas 100jt keuntungan yang wajar sebenarnya hanya 5% menurut UU PPh.
Untuk era setelah tahun 2008 berlaku ketentuan baru berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008, bahwa sejak tahun 2011 tarif PKP badan adalah sebesar 25%. Sedangkan nilai pungutan tetap 1,5%. Maka rumus keuntungan sebagai berikut :
Keuntungan = PPh / PKP x 100%
Keuntungan = 1,5 /25 x 100%
Keuntungan = 0,06 x 100%
Keuntungan = 6%
Formulasi ini dapat digunakan untuk pekerjaan konstruksi yang PPh-nya sebesar 2% dan jasa konsultan 4%. Didapatkan standar keuntungan yang wajar 8% dan 16%. Lihat saja keuntungan yang wajar untuk konsultan, dengan kompleksitas pekerjaannya, standarnya malah lebih dari 15%.
Komposisi Overhead
Ambil patokan standar perhitungan keuntungan sebelumnya, untuk barang/jasa lainnya oleh badan usaha komposisi HPS adalah sebagai berikut :
HPS = Keuntungan + OH
< 15% = 6% + OH
OH = 15 – 6
OH = < 9%
Mestikah OH terkurung diangka 9%? Seperti dikemukakan Garisson/Noreen biaya overhead (OH) adalah semua biaya yang berkaitan dengan proses produksi selain bahan langsung dan tenaga kerja langsung. Dari sisi produksi juga dikenal dengan biaya OH pabrik mencakup biaya produksi lainnya seperti pemanasan ruang pabrik, penerangan, penyusutan pabrik dan mesin-mesin, pemeliharaan, gudang bahan-bahan dan hal lain yang memberikan pelayanan-pelayanan kepada bagian produksi juga merupakan bagian dari biaya OH pabrik.
Untuk barang/jasa non laverage biaya OH pabrik ini perlu dimasukkan dalam pertimbangan HPS. Seperti barang/jasa routine yang berorientasi pada stock management maka OH terkait inventory harus diperhitungkan untuk menjamin ketersediaan supply yang dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan apabila terjadi kemacetan supply.
Untuk barang/jasa laverage dimana jumlah penyedia dan barang dalam pasar persaingan sempurna maka yang diperhitungkan cukup OH dari sisi penjualan. Biaya ini menurut Pass, Lowes dan Davis termasuk dalam biaya penjualan, biaya distribusi dan biaya administrasi diperhitungkan sepanjang biaya-biaya tersebut tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan unit produk.
.Jelas komposisi OH dalam HPS maksimal 15% bersama keuntungan, harus diperhitungkan dengan teliti dan akuntabel. Sehingga tidak semua komposisi keuntungan plus OH adalah 15% bisa kurang atau bisa juga lebih. Prinsip akuntabilitas yang tetap berorientasi pada efisiensi dan efektifitas pencapaian sasaran harus terus dipegang.
Untuk itu penting sebuah kerangka spesifikasi yang jelas dan terukur, sehingga komposisi HPS mencerminkan biaya yang memang dibutuhkan, tidak hanya tentang harga terendah. Ini juga akan sangat menentukan rancangan kontrak yang akan dipilih dan ditetapkan nantinya.
Materi bahasan yang mendalam, menyeluruh dan mencerahkan. Terima kasih kepada bang Samsul.
Terimakasih telah berkungjung Kang Encep..:) semoga manfaat..
pak Samsul , yang menandatangani hasil rekap survey siapa ya, mohon penjelasannya trims.
Penandatangan hasil survey adalah yang melakukan survey baik ppk atau petugas yang di perintahkan berdasar SK atau surat tugas dari PPK/PA/KPA.. Dan yang menetapkan HPS tetap PPK…
Terimakasih telah berkunjung mba ana..
ma kasih atas penjelasannya…maun nanya lebih lanjut jadi kalau pengadaan langsung dengan nilai 25 juta berapa keuntungan pihak ketiganya?
Besarnya keuntungan penyedia pada dasarnya tidak bisa kita batasi… Hanya saja pada saat menyusun hps seperti saya tulis… harga pasar sdh termasuk keuntungan… Apabila sumber data berasal dari distributor atau pabrikan itu adalah harga dasar apabila target penyedia usaha kecil… Sehingga perlu ditambahkan keuntungan yang wajar dan overhead maksimal 15%…
Dalam perpres 70 tahun 2012, harga pasar bukan menjadi dasar dalam penyusunan HPS.
Menurut saya tidak ada yang berubah karena pasal 66 ayat 7 huruf a.. Mungkin Bapak punya dasar pemikiran yang berbeda yang bisa dishare disini….
Keliru, maksudnya harga pasar bukan menjadi dasar utama untuk menyusun HPS, tetapi salah satu dasar dalam penyusunan HPS berdasarkan perpres 70/2012 berbeda dengan perpres 54/2010.
Sepakat pak bahwa harga pasar bukan lagi sebagai data dasar utama namun HPS diperhitungkan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan yang salah satunya adalah Harga pasar setempat.
Namun apabila kita melihat konstruksi P54 dan seluruh perubahannya termasuk P70 maka dapat ditemui betapa Harga Pasar menjadi sangat penting seperti Pasal 1 ayat 30, Pasal 38 ayat 3, Pasal 39 ayat 2, Pasal 40 ayat 2 huruf a dan Pasal 41 ayat 2 atau pasal-pasal sebelum pasal 66. Ketika berbicara harga barang maka harga pasar yang jadi acuan.
Demikian menurut saya..
Mohon penjelasan dari Bang Samsul, terkait dengan apabila dalam penyusunan HPS menggunakan harga retail atau toko, kemudian kita menambahkan keuntungan 10 % kemudian ditambah 10 % PPN, dan pihak penyedianya adalah CV. Apakah hal tersebut menyalahi ketentuan ketentuan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 / Perpres No. 70 Tahun 2012 ??? Makasih.
Harga Retail atau toko adalah Harga Pokok Penjualan yang sudah barang tentu sudah memperhitungkan keuntungan didalamnya jadi apabila ditambahkan faktor keuntungan lagi semisal 10% maka akan terjadi kemahalan sebesar 10% dari harga pasar. Kemahalan ini yang dilarang oleh P54/2010 dan seluruh perubahannya. Terkait soal penyedianya adalah CV sudah sangat jelas dalam artikel saya bahwa dalam struktur pasar CV mestinya lebih tinggi dibanding toko, sehingga CV mestinya mempunya kapasitas pembelian yang besar dan berkoneksi dengan agen/distributor bahkan pabrikan bukan lantas membeli produk dari toko retail. Mengenai pendalaman tentang ini saya akan tulis bagian dua tentang lika-liku menyusun HPS 2 Insya Allah.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…
Penjelasan yag sangat mencerahkan…
saya mau tanya…pada saaat kita menyusun HPS untuk pengadaan langsung berdasarkan harga pasar dan tidak boleh ditambahkan keuntungan krn keuntungan sdh ada di tingkat retailer (toko) apakah kita bisa menambahkan OH dlm pengertian biaya perhitungan jika yg menjadi penyedia retailer (toko) dlm mengurus administrasi pencairan dan bunga bank karena barangnya dimasukkan dulu baru terjadi pembayaran (misalnya : masa pelaksanaan sekitar 3 bln) ?
OH biasanya ada pada proses pergudangan, administrasi import/eksport atau biaya lain yang berpegaruh pada Harga Pokok Produksi atau Harga Dasar secara tidak langsung… Biaya administrasi pencairan atau bunga bank terkait proses transaksi tidak termasuk overhead… Jadi menurut saya tidak dapat dimasukkan dalam HPS…
Pak Samsul Ramli, saya mau tanya masalah HPS Pengadaan Jaringan LAN dan instalasinya . Ada Tiga Perusahaan yang menyampaikan penawarannya masing-masing A sebesar Rp 12.150.000,00 (exclude PPN 10% ), B sebesar Rp 12.585.000,00 (exclude PPN 10% ) dan C sebesar Rp 12.725.000,00 (exclude PPN 10% ). Berapa HPSnya dan Harga dasarnya untuk RAB. terima kasih banyak bantuannya. Pak.
Maaf pak sebelumnya HPS menurut saya harus disusun berdasarkan tipe barang/jasanya… untuk pengadaan barang penggunaan hasil survey kepada tiga penyedia dapat langsung digunakan untuk menyusun HPS apalagi kuantitas barangnya sedikit 1 atau 2 item, untuk jasa lainnya (kasus Bapak ini) dalam penyusunan HPS harus diperhitungkan komponen tenaga kerja (Tenaga Teknis), Peralatan dan Bahan/Barang… sehingga dalam survey pasar apabila didapatkan data harga seperti ini harus disesuaikan dengan standarisasi teknis yang Bapak butuhkan dalam Pengadaan jaringan LAN (Spesifikasi).. setelah disetarakan disisi teknis baru kita bisa perbandingkan harga yang ditawarkan….
Dalam pengalaman saya Pembangunan LAN seperti ini komponen terbesar adalah hardware-nya sehingga sebaiknya Bapak teliti lagi peralatan atau hardware yang akan digunakan kemudian coba susun RAB berdasarkan kebutuhan itu. Bandingkan harga setidaknya 2 hardware untuk masing-masing jenis hardware.
Misal :
Server IBM = 14jt HP = 12jt
Router Linksys = 1,4jt Mikrotik = 1,3 jt
Maka utk alat dapat dipakai Server HP : 12 jt dan Mikrotik 1,3jt sehingga utk hardware HPS 13,3jt
Tenaga Teknis : misal = 2jt/org
Sehingga didapatkan 15,3jt + PPN sebagai HPS….
Demikian Pak menurut saya.. jadi jangan terima mentah hasil survey berdasarkan harga penawaran dipasar untuk kebutuhan barang/jasa yang melibatkan Jasa…
Perkiraan keuntungan wajar yang sampai saat ini masih 10% (Sepuluh Persen), menurut saya hal itu masih sesuai. Pertimbangannya karena penentuan keuntungan wajar yang paling substansi ada pada katagori usaha kecil sejenis pengadaan langsung, terutama pengadaan / pembelian langsung. Sementara utk pekerjaan yg dilelang, kelebihan sedikit tsb tidak terlalu berpengaruh karena pada saat lelangnya sudah terjadi mekanisme pasar.
Pengadaan langsung tsb masih memberi ruang yang sangat besar kepada pelaku usaha perorangan atau Wajib Pajak orang pribadi, dan tarif pajak (PKP) yang berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi sampai saat ini masih berkisar antara 5 % sampai paling tinggi 30 %.
Pak Samsul Ramli, tulisan bapak sangat mencerahkan. Terima kasih telah berbagi dan saya minta izin untuk copas ke blog saya (http://www.duniakontraktor.com)
Terimakasih telah berkunjung Pak Hendri…
Betul sekali Pak Hendri dari sisi penyedia 10% mungkin akan cukup atau bahkan kurang karena dasar perkiraan keuntungan yang wajar tidak dapat diperkirakan dengan persentase yang statis. Dan tentang ini hanya penyedia yang expert mengetahuinya kemudian juga akan sangat bergantung pada Supply Positioning Model dan Supplier Perception Model.. Sementara disisi pemerintah konservatifisme akuntabilitas keuangan memaksa penyelenggara pengadaan menyandarkan segala perhitungan pada dasar hukum dan aturan. Nah disisi ini angka 10% menjadi nisbi secara hukum karena landasan-nya “kebiasaan” bukan aturan. Maka menurut saya yang lebih tepat adalah berdasarkan harga pasar akhir target penyedia. Seperti harga toko untuk barang, dipastikan didalamnya sudah ada perhitungan profit. Dan didalam profit ini sudah termasuk kalkulasi perhitungan PPh baik perorangan maupun badan usaha….
Silakan Pak Hendri dengan senang hati… mohon ijin juga meletakan website Bapak dalam blogroll saya.. terimakasih
Terima kasih Pencerahannya Pak Samsul
sama-sama Pak Kustadi.. semoga manfaat…
Ada tiga penawar Pengadaan dan Jasa Instalasi Internet Masing2 penawaran untuk material dan jasa sebagai berikut :
No. Uraian Sat Harga Satuan Harga Satuan Harga Satuan
Penawar I Penawar II Penawar III
Material
1 Kabel UTP Cat 5E m 4.500 5.000 4.750
2 Protector TC Besar dan Kecil m 10.000 7.500 9.500
3 AT TP-Link WR-941 ND unit 370.000 350.000 370.000
4 Router Mikrotik RB -450 G unit 1.250.000 1.200.000 1.265.000
5 Switch Hub D-Link (8 port) unit 190.000 150.000 180.000
6 Switch Hub D-Link (16 port) unit 450.000 400.000 470.000
7 RJ-45 AMP buah 2.500 1.700 2.500
Jasa
1 Instalasi Jaringan Komputer unit 100.000 100.000 100.000
2 Instalasi access point unit 150.000 150.000 150.000
Apa benar jika harga satuan Hpsnya saya bandingkan dipilih yang paling kecil
jadi seperti dibawah ini atau kita perlu survey sendiri :
No. Uraian Sat Harga Satuan
HPS
Material
1 Kabel UTP Cat 5E m 4.500,00
2 Protector TC Besar dan Kecil m 7.500,00
3 AT TP-Link WR-941 ND unit 350.000,00
4 Router Mikrotik RB -450 G unit 1.200.000,00
5 Switch Hub D-Link (8 port) unit 150.000,00
6 Switch Hub D-Link (16 port) unit 400.000,00
7 RJ-45 AMP buah 1.700,00
Jasa
1 Instalasi Jaringan Komputer unit 100.000,00
2 Instalasi access point unit 150.000,00
Secara perhitungan saya sepakat ini Pak Adit… Namun perlu diingat pengambilan keputusan dipakainya harga barang D-Link, TP-Link dan Mikrotik sebaiknya diusahakan tidak membatasi persaingan hanya ke 1 merk… jadi saran saya bandingkan minimal 2 merk yang memenuhi kebutuhan disisi kualitas, kemudian ambil spesifikasi umum (persamaan) kemudian dari spesifikasi umum yang terbentuk ini cari spesifikasi khusus dibandingkan merk lain… sehingga nantinya minimal dua merk dengan kualitas yang dibutuhkan ini yang akan masuk…
Dalam contoh saya saya sudah yakin server HP meski lebih murah dari IBM tapi ada merk Dell dengan harga dan kualitas setara…
Oya dalam spesifikasi jangan sebutkan merk hanya spesifikasi umum tadi saja…
Terima kasih sekali sudah dilink ke blog Pak Samsul.
Masalah keuntungan yg wajar dalam perhitungan HPS yakni sebesar 10 %, saya tidak hanya melihat dari sisi penyedia tetapi sudah tepat berdasarkan perhitungan PPh.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengadaan barang/jasa tidak hanya diikuti oleh penyedia yang berbentuk badan tetapi ada juga pelaku usaha perorangan. Tarif PKP Badan yaitu sebesar 25 % sementara tarif PKP Pelaku usaha perorangan atau Wajib Pajak orang pribadi nilainya berkisar antara 5 % sampai paling tinggi 30 %.
Dari tiga bentuk tarif tsb, jika yg diambil adalah nilai tengahnya maka didapat angka 15 %. Untuk tarif PKP sebesar 15 %, sesuai rumus Pak Samsul maka perkiraan nilai keuntungannya sebesar 10 %.
Selanjutnya, terkait dengan potongan PPh sebesar 1,5 %, itu merupakan norma perhitungan.
Norma Penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Untuk pengadaan barang, norma perhitungan ditetapkan sebesar 1,5 % dari nilai penawaran sebelum PPN, sementara untuk jasa konstruksi norma perhitungannya sebesar 3 % – 4 %.
Jika nilai perkiraan keuntungannya sebesar 10 % maka untuk PPh dengan tarif PKP 15 % nilaI PPh nya akan sama dengan norma perhitungan PPh 1,5 %
Memang betul pak hendri saya sempat mengambil kesimpulan begitu namun pengambilan batas tengah dari 30% PKP Perorangan tersebut yang menjadi kendala. Karena dari sisi pemeriksaan akuntabilitas, dasar hukum tidak diterima berdasarkan perkiraan… Mungkin Pak Hendri bisa bantu saya utk menemukan landasan perhitungan pasti tentang 10% yang diacu sebagian besar teman-teman kita dipemerintahan dalam menyusun HPS. Bahkan pemikiran saya kondisi ini disesuaikan dengan struktur pasar.. semakin jauh struktur pasar ‘pembentuk harga dasar’ dengan ‘pembentuk harga pasar’ maka semestinya perhitungan keuntungan yang wajar berdasar pph juga semakin tinggi… jadi ada ide tulisan dan kajian lagi nih.. 🙂
Sementara ini dalam kelas saya selalu menyarankan kawan-kawan penyusun HPS utk melihat harga pasar yang berlaku di target supplier. Apabila yang tersedia hanya data ditingkat distributor baru saya menyarankan gunakan angka perhitungan keuntungan berdasarkan PPH.
Ternyata tarif PKP 15 % itu bukan nilai tengah, tetapi sudah ketentuannya.
Pasal 23 ayat (1) huruf a UU NOMOR 36 TAHUN 2008 menyebutkan:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
Pasal 4 ayat (1):
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
Pak Hendri sepembacaan saya ada perbedaan antara tarif pajak dari PKP yang diatur pasal 17 dan besaran pemotongan pajak yang diatur dalam beberapa pasal seperti pasal 21,22,23 dan 26 yang kemudian sering disebut dengan PPH Pasal. Pasal 23 mengatur tentang pemotongan pajak bukan mengatur tentang tarif pajak/PKP. Diskusi ini juga membuat saya belajar lebih dalam lagi tentang PPH terimakasih banyak Pak Hendri atas motivasinya..
Thank banyak Pak Samsul atas penjelasannya. Saya sekarang lebih mengerti.
Alhamdulillah Pak Adit Insya Allah utk HPS ini akan coba saya bahas dari kasus kita ini ya…
Masalah PPh ketentuannya sbb:
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:…dst sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU N0 36/2008 tentang PPh.
Artinya Penghasilan Kena Pajak merupakan penghasilan bersih atau penghasilan netto saja.
Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak besarannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 UU 36/2008 tentang PPh. Untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25%.
Pada Pasal 31E ayat (1) UU No 36/2008 tentang PPh disebutkan “Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Artinya untuk wajib pajak yang peredaran brutonya sampai dengan Rp4.800.000.000, Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak hanya sebesar 12,5 %.
Bendaharawan Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 154/PMK.03/2010 atau wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti: komputer, meubeler, mobil dinas, ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia barang.
PPh Pasal 22 atas pengadaan barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran, besarnya tarif PPh Pasal 22 atas pengadaan barang yang dananya berasal dari APBN/D adalah 1,5%. (http://www.duniakontraktor.com/panduan-praktis-pemungutan-dan-pemotongan-pajak-penghasilan-pasal-22-bagi-bendaharawan-pemerintah/.html)
Selanjutnya, “Pasal 28A UU No 10/94 tentang PPh menyebutkan “Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksisanksinya.
Pasal 29 UU N0 36/2008 tentang PPh menyebutkan “Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Kesimpulan:
– PPh Untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tarif normalnya adalah 25 %. Untuk wajib pajak yang peredaran brutonya hanya sampai batas Rp4.800.000.000, tarif PPh nya adalah 12,5 %.
– Setiap wajib pajak yang melaksanakan pengadaan barang untuk instansi pemerintah, bendahara pemerintah wajib memungut PPh nya sebesar 1,5 % dari nilai barang sebelum PPN. Kelebihan atau kekurangan dari pungutan tsb akan dihitung kembali pada akhir tahun pajak.
Berdasarkan ketentuan dan dalil-dalil diatas, kesimpulan akhirnya sbb:
perhitungan keuntungan wajar dalam rangka penetapan HPS sebagaimana tercantum dalam tulisan Pak Samsul Ramli diatas, TIDAK TEPAT jika didasarkan pada tata cara perhitungan PPh. Dengan demikian maka untuk menetapkan keuntungan wajar, dasarnya kita kembalikan pada Perpres 54/2010 serta perubahannya. Menurut Perpres 54/2010 serta perubahannya, keuntungan dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi dan pengadaan barang adalah maksimal 15 %.
Berarti ini sudah berbeda topik ya Pak Hendri, komentar terdahulu tentang temuan Pasal 23 ayat 1 tentang 15% yang akan dijadikan dasar perhitungan 10% keuntungang yang wajar. Dalam pemahaman saya membaca UU PPH terkait diskusi kita ada tiga hal: Lapisan “PKP” yang dijadikan dasar menentukan “tarif PPH” ini jelas diatur dalam pasal 17. Kemudian tentang “Pemotongan PPH” berdasarkan obyek pengenaan ini diatur diantaranya dalam PPH Pasal 21, PPH Pasal 22, PPH pasal 23, PPH pasal 26 dst….. sehingga dasar 15% tersebut bukan tarif PPH tapi besaran pemotongan pajak utk pasal 23.
Pasal 17 ayat (2) “Tarif tertinggi” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa Tarif PPH 25% adalah tarif tertinggi, ada unsur perkiraan disini dan batas wajar tertinggi nya adalah 25%. Tentang “perkiraan tarif tertinggi” ini dapat dibaca pada ayat (7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1). Jadi saya mengambil base 25% atas dasar perkiraan tertinggi tarif pajak.
Saya sepakat dengan semua poin kesimpulan Pak Hendri namun kita tidak berbicara tentang batas tertentu tapi “tarif normal”. Kemudian tentang menurut Perpres 54/2010 serta perubahannya, keuntungan dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi dan pengadaan barang adalah maksimal 15 % saya sangat sepakat. Namun yang ingin digali adalah tentang mem-breakdown angka 15% itu untuk dua komponen pembentuk yaitu berapa peresentases keuntungan yang wajar dengan demikian diketahui berapa persentase batasan OH juga… ini yang tidak dijelaskan dalam Perpres 54/2010.
Demikian Pak Hendri saya tidak menyebutkan siapa yang keliru dalam hal ini, karena wilayah ini adalah wilayah telaah pemikiran dan kita sedang membicarakan tentang “perkiraan” dan seperti yang saya sebutkan terdahulu bahwa ini hanyalah sebagai upaya memberikan bahan dasar utk PPK mempertahankan landasan akuntabilitas perhitungan “Harga Pasar” ketika mendapatkan “harga dasar” dalam survey HPS.
Maka dari itu saya lebih menekankan agar PPK dalam menyusun HPS usahakan mendapatkan “Harga Pasar” sehingga didalamnya sudah jelas ada perhitungan Profit dan OH dan tidak perlu melakukan perhitungan lagi.
Yang saya kejar disini adalah masalah pemahaman yang benar, supaya tidak terjadi kekeliruan penafsiran karena tulisan Pak Samsul ini menurut saya dapat dijadikan referensi oleh PPK.
Kenapa sampai topiknya terlihat berubah-ubah? Hal itu disebabkan pemahaman saya tentang PPh juga kurang, jadinya komentari sambil belajar.
Kenapa fokus komentar saya ke masalah PPh? Karena menurut saya dengan mengaitkan masalah PPh untuk melepaskan faktor keuntungan dari persentase keuntungan dan biaya Overhead maka terjadi pemahaman yang keliru nantinya. Hal itu dapat terlihat dari penetapan keuntungan menjadi 6 % sebagaimana tercantum dalam tulisan ini.
Atas dasar itu maka kutipan tulisan ini yang telah saya posting ulang diblog duniakontraktor.com, sebagaian isinya telah saya buang dan rubah. Karena telah saya ubah maka pada akhir tulisan, pada awalnya saya tulis sumber kemudian saya ubah menjadi referensi. Dapat dilihat pada link http://www.duniakontraktor.com/lika-liku-menyusun-hps/.html
Betul sepakat sekali Pak Hendri sejauh yang saya pahami memang seperti itu.. karena kompleksitas masing-masing pekerjaan sangat berbeda maka perhitungan keuntungan yang wajar dari harga dasar tidak dapat disama ratakan seperti yang selama ini terjadi dengan angka 10%…
Kemudian seperti yang saya sebutkan diawal bahwa yang mengetahui persis secara “keahlian” berapa keuntungan yang wajar adalah penyedia yang setiap saat berinteraksi dengan pasar….
Saya juga dalam tahap belajar pak Hendri.. karena terus terang saya beberapa kali menemukan gara-gara menetapkan 10% keuntungan bahkan ada yang ambil mentah 15% dikenakan dugaan mark up.. untuk itu perhitungan ini saya coba cari dari beberapa guru senior saya dan inilah yang terakhir saya temukan… Mohon juga nanti jika Pak hendri menemukan perhitungan yang meyakinkan share ke saya…
Seperti yang saya sebutkan perhitungan keuntungan yang wajar bersifat perkiraan.. sehingga ada unsur probabilitas.. dari pengalaman saya setelah menemukan perhitungan ini dan diterapkan dibeberapa pelelangan yang saya jalankan tidak terjadi permasalahan… maka dari itu saya yakin perhitungan keuntungan yang wajar yang saya pegang lebih aman dibanding saya menggunakan angka 10% yang saya tidak bisa jawab dasar hukumnya…
Sejauh yang saya baca dari blog Pak hendri saya tidak berkeberatan soal keuntungan ‘dipotong’ kalau memang Pak Hendri tidak atau belum meyakini.. saran saya akan lebih baik lagi pemotongan ini dijelaskan termasuk ketidakyakinan Pak Hendri terhadap pemikiran saya… ditambah link artikel orisinil, sehingga nantinya ada kritisi terhadap pemikiran saya seperti halnya Pak Hendri..
Setelah saya kaji lagi sepertinya menghitung keuntungan berdasarkan PPh sudah tepat tetapi saya tidak sependapat dengan perhitungan Pak Samsul tentang tarif PKP yg dulunya sebesar 15% dan saat ini menjadi 25%, sehingga perhitungan keuntungan berdasarkan tarif PPh tsb yaitu sebesar sbb: 10% (tarif lama) dan 6% (tarif saat ini).
Menurut saya, tarif yang berlaku untuk pendapatan kena pajak (PKP) saat ini nilainya sebesar 12,5%, engan demikian maka keuntungan yang diperhitungkan menjadi 12% dan sisanya sebesar 3% merupakan biaya overhead.
Ketentuan tentang tarif PKP 12,5% diatur dalam Pasal 31E ayat (1) UU No 36/2008 tentang PPh, yang bunyinya menyebutkan:
“Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”
Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk HPS yg besarnya Rp4.800.000.000, kebawah tarif PKP nya sebesar 12,5%.
Jika HPS nya diatas Rp4.800.000.000, misalnya Rp. 6 Milyar maka PKP nya menjadi:
Untuk nilai HPS hingga Rp4.800.000.000, keuntungan yg diperhitungkan sebesar 12% sementara sisanya yaitu sebesar Rp1.200.000.000, keuntungan yang diperhitungkan sebesar 6%.
Mengingat untuk pengadaan diatas Rp4.800.000.000, sudah termasuk pekerjaaan besar/kompleks maka biaya OH nya akan lebih besar, dengan demikian ketika digabung antara keuntungan + OH, maka persentasenya hampir dapat dikatakan sama, karena keuntungannya kecil tetapi OH nya sudah pasti besar.
Selain itu, keakuratan perkiraan HPS anatara keuntungan dengan biaya overhead tidak terlalu berpengaruh pada proyek yang pengadaannya dilakukan dengan cara tender bebas, karena pada tender bebas proses seleksi pasar benar2 sudah terjadi (itu, jika integritas para pihak benar2 baik).
Contoh, misal pada pekerjaasn konstruksi:
Sesuai dengan Peraturan LPJK, untuk pekerjaan kecil, tenaga ahlinya tidak diperlukan sementara pekerjaan besar sudah membutuhkan tenaga ahli.
Kesimpulannya:
Porsi keuntungan + overhead yang diperhitungakan dalam Perpres 54/2010 serta perubahannya adalah: persentase keuntungan = 12 % dan biaya overhead = 3%
Perhitungan biaya overhead sebesar 3% hampir sama dengan biaya overhead bank Mandiri periode 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007 yaitu sebesar: 1,6%, 2,2%, 2,4%, 2,3% dan 2,4%. (http://www.slideshare.net/tandurpaica/bank-mandiri)
Ini poinnya Pak Hendri… disisi pelaksanaan sekali lagi seperti yang saya tulis HPS adalah perkiraan..yang menurut Pak Hendri “tidak berpengaruh pada tender bebas” karena harga pasar sesungguhnya adalah yang terjadi riil di pelelangan… Namun disisi pemerintah terkait akuntabilitas diperlukan acuan pertanggungjawaban.. untuk itu perhitungan ini ada sebagai salah satu ikhtiar.. Terus terang saya tidak berani mengambil angka 12,5% karena berasal dari fasilitasi apalagi lebih tinggi dari 10% sehingga saya ambil angka perkiraan yang menurut saya paling aman… kemudian disisi lain harga pasar-lah yang lebih akurat dijadikan dasar perhitungan HPS karena sudah pasti memperhitungkan keuntungan+overhead… Satu hal yang kemarin saya tekankan setiap barang/jasa mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga besaran Keuntungan+OH juga pasti berbeda tidak bisa disamaratakan secara absolut…
Jadi ikhtiar perhitungan dalam artikel ini adalah salah satu upaya untuk memberikan dasar perkiraan saja disisi akuntabilitas.. kalau ada perhitungan lain yang diyakini akuntabilitas-nya tidak masalah untuk dipergunakan…
Pak, mau bertanya sedikit donk. Apakah pada kontrak lumsump dapat dipermasalahkan mengenai keuntungan perusahaan? Dan apakah perusahaan hrs mengembalikan selisihnya tersebut? Terima kasih banyak.
Jenis kontrak tidak terkait dengan porsi keuntungan… perhitungan keuntungan berkaitan dengan penyusunan HPS disisi PPK.. apabila sumber data HPS sudah harga pasar maka tidak perlu dihitung lagi keuntungan dan overhead…
Pak Samsul, pada pengadaan videotron, apakah PPK perlu membuat RAB untuk pekerjaan pengecoran sesuai spek PU ? Apakah perlu dipersyaratkan sertifikat keahlian tertentu bagi teknisi yang akan memasang/memberi pelatihan bagi pengguna/user ?
Pak Antoni: Cukup dipersyaratkan Tenaga ahli/teknis konstruksi yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian atau teknis
Pak, minta bantuan pencerahan, semisal pengadaan suatu alat , Di Indonesai ada beberapa merk masing 2 memiliki spek bahan dan ukuran komponen beda, feature berbeda, cara kerja alat berbeda, tetapi fungsinya sama. Masing2 alat memiliki perwakilan / principle, jika kita bertanya ke principle tentang spesifikasi, feature dan harga jawabannya diarahkan ke agen. setiap alat rata2 memiliki 1 agen di indonesia yang memasarkan langsung. mohon pencerahan bagaimana membuat persyaratan spekteknis?, survey paasar? dan dihubungkan antara kebutuhan dan keinginan? terima kasih sebanyak-banyaknya pak wasslam
Kalau ada 2 alat yang memiliki fungsi sama tapi spesifikasi berbeda dan kebutuhan kita adalah “fungsinya” maka bandingkan kedua spesifikasi kemudian ambil spesifikasi yang sama diantara keduanya untuk menjadi spesifikasi pada dok pelaksananaan pengadaan… Dapat dipastikan penawaran akan bersaing minimal antara dua merk, dua principal dan dua agen..
terima kasih pak….hal ini bisa menjadi pedoman…..tapi boleh tanya lagi pak?….masih untuk kasus yang sebelumnya; 1 principle dagang asing memiliki 2 agen di indonesia (maaf tidak sebut nama)…Agen A menjual merek A1, dan agen B menjual merek B1, tetapi antara barang A1 dengan B1 sama persis yang membedakan hanya warna saja, (data ini saya pelajari dari brosurnya) pertanyaan apakah yang seperti itu menurut kaidah PBJ dikatakan beda merek atau tetap satu merek?
Penentuan merk adalah hak dari Pabrikan jadi apabila merknya berbeda tetap berbeda merk meskipun spesifikasinya hanya berbeda disisi warna… yang harus kita perhatikan adalah diusahakan semaksimal mungkin jangan sampai kita terjebak pada trik monopoli pabrikan terhadap satu produk.. untuk itu kita perlu terus memperluas pengetahuan tentang kondisi pasar penyedia (pabrikan,Distributor,Agen, Dealer dan retail) untuk barang2 yang sifatnya resiko tinggi seperti alat2 kesehatan tertentu.. Riset Pasar menjadi penting…
apa sangsi jika PPK tdk paham tata cara menetapkan HPS
Sanksi tergantung pada dampak atau akibat dari kesalahan…
Memang tepat apa yang disampaikan semua, akan tetapi dilapangan jauh sekali berbeda terutama untuk pengadaan dibawah 25 jt. Misalnya notebook dengan harga 5 jt di tingkat retail/eceran toko. Berarti penyedia tidak berhak menambahkan keuntungan 10%, Sayangnya dilapangan jarang sekali ada tingkat toko/eceran mau ikut sbg penyedia dengan harga eceran, alasannya karena pembelian tidak bisa cash (ada uang ada barang), untuk proses amprah biasanya memakan waktu 10-15 hr kerja, Beberapa toko saya pernah korek alasannya, “Lebih baik jual ke customer cash / perputaran modal cepat dari pada ke Pemda (udah kredit, proses jelimet). Hal ini pernah saya akali dengan membuat amprah terlebih dahulu agar bisa mendapatkan harga eceran/beli cash, sayanganya kendala di PPHP/ Penerima barang tidak maun sign karena tidak ada barang.. Waahhh wkwkwk PUSING jadinya… Mohon solusinya pak
Pembelian langsung ditempat saya cash pak menggunakan UP.. jadi prosesnya pejabat pengadaan membandingkan HPS dengan harga penyedia (toko) utk barang kemudian setelah dapat harga termurah lapor PPK jika PPK setuju maka Pejabat Pengadaan menyerahkan pembayaran saat itu juga dengan mendapatkan kuitansi pembelian..
pak mau tanya misalkan pengadaan barang/jasa harga pasarnya 5.000.000 minimal di naikan berapa persen dari harga pasar tp sudah termasuk pajak pak
5.000.000 + PPN 10% = 5.500.000
Pak Samsul, mohon pencerahannya. Saya akan melaksanakan tender Barang, dalam tender yang sama terdapat beberapa barang pak. Yang menjadi pertanyaan, terdapat satu barang yang sudah pernah ditenderkan pada tahun sebelumnya, misal pak barang A dengan Harga satuan 100 dan harga setelah PPN 110. Dengan demikian untuk menetapkan HPS saya mempergunakan kontrak tersebut sebagai acuan sesuai perpres 54 tahun 2010 pasal 66 ayat 7. Namun untuk memperhitungkan kemungkinan perubahan apakah saya bisa mendasarkan pada inflasi tahun sebelumnya pak? Atau bagaimana yah pak? Jika mendasarkan pada inflasi tahun sebelumnya perhitungannya apakah berdasar harga satuan+inflasi+PPN atau harga kontrak include PPN+inflasi pak. Mohon penjelasannya pak. Terima Kasih.
@Enggar: perhitungan net present value menggunakan beberapa index yang salah satunya inflasi… menurut saya selama perhitungan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara keahlian tidak masalah.. tapi lihat kondisi barangnya jika harga pasar tidak sulit untuk didapatkan akan lebih baik jika menggunakan harga pasar… perhitungan Net Present Value menggunakan biaya pokok sebelum PPN jadi setelah didapatkan biaya pokok hasilnya baru ditambahkan PPN…
bagi kami yang Pemula sebagai PPK berarti harus banyak lagi belajar untuk menetapkan HPS, namun ada mau saya tanyakan sama Pak Samsul, dijelaskan Bapak di atas bahwa menentukan HPS harus memepertimbangkan Harga Pokok Produksi ( HPP) dimana HPP menurut penjelasan Pak samsul HPP ( maaf kalau saya keliru) : memperhitungkan Bahan mentah plus tenaga kerja yg dibutuhkan atau biaya langsung yang melekat pada HPP PLus Biaya Tidak langsung atau diartikan (OH).
yang mau saya komentari adalah kapasitas kami adalah PPK , artinya tugas PPK dalam Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang dibutuhkan oleh Pengguna Anggaran. yang artinya dalam menentukan HPS suatu Paket pekerjaan itu historynya an:
pertama adalah Survey harga Pasar, dan peraturan menyaratkan agar Survey hrg Psr dari tingkat Distributor , bukan dari pengecer. apabila PPK sudah mendapatkan hasil Survey Pasar (SP) sedikitnya dari 3 pemberi rekomenasi harga pasar, maka PPK memilih mana yang lebih rendah. selanjutnya PPK memperhitungkan keuntungan maksimal 10% dan Biaya (cost) yang diperlukan untuk pengadaan barang. maks 5 %. di tambah PPN 10 %. maka dapat ditetapkan HPS.
Menurut asumsi saya , karna saya masih pemula PPK unsur memperhitungkan biaya dimaksud dalam HPS adalah biaya yang dibutuhkan untuk harga satuan pengadaan Barang/Jasa pemerintah sampai ke tempat lokasi / tujuan terakhir( sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan),
bukan memperhitungkan berapa Harga Pokok Produksi barang krn menurut saya itu adalah hasil dari perhitungan pabrikan.( ruang lingkup pabrikan)
karna ada perbedaan persepsi saya mengenai unsur biaya yang dijelaskan Pak Samsul ,
mohon Pak penjelasanya, agar kami PPK di kemudian hari lebih mudah menyusun HPS , terima kasih.
Terimakasih Pak parulian nainggolan:
Pertama, tentang HPP.. seperti yang saya tulis untuk mendapatkan Harga Pasar maka HPP ditambahkan keuntungan yang pantas/wajar adalah Harga Pasar (HPP+K)… jika kita breakdown lagi HPP= Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead maka Harga Pasar = Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan….
Kedua, Tidak ada atau saya belum tau ada peraturan yang menyatakan bahwa survey pasar wajib ke distributor. Dalam artikel saya sebutkan bahwa dalam hal survey kita mempertimbangkan struktur pasar baik pasar barang maupun penyedia. Kalau kita membutuhkan barang dengan jumlah yang kecil dengan karakteristik barang sederhana (Laverage) maka paling tepat survey ke tingkat retail.. ini artinya target pasar penyedia kita adalah retail.. maka survey pasar kita cukup ketingkat retail.. dengan demikian kita tidak perlu lagi menghitung HPP+Keuntungan karena harga retail sudah memperhitungkan itu semua (terkecuali cara pembelian kita kredit maka akan ada overhead tambahan yaitu biaya bunga)… harga retail + PPN = HPS.
Berbeda jika barang yang kita butuhkan spesifik atau kuantitasnya besar yang tentu saja sedikit pengecer yang bisa memenuhi maka target penyedia kita tingkatkan ke agen/distributor. Untuk itu survey baru kita arahkan ke distributor. Dengan demikian HPS=Harga Distributor+PPN…
Ketiga, terus terang sampai sekarang saya tidak menemukan landasan aturan yang menyebutkan keuntungan 10% dan Cost Pengadaan 5%. Yang tertuang di P54 adalah Contoh: Keuntungan+OH maksimal 15%. Selain ini contoh disini juga tidak dijelaskan berapa keuntungan dan berapa OH. dan OH bukan Cost Pengadaan.
Keempat, HPS tentu juga mempertimbangkan biaya pendukung yang perhitungannya dipisahkan dari biaya pokok. Biaya pendukung tergantung kebutuhan mendapatkan barang (Acquisition cost). Maka dari itu PA/KPA dan PPK harus rembug dalam spesifikasi apakah barang ini dapat dibayar saat barang jadi (pabrik/Exwork) atau barang kirim (FOB/CIF) atau Barang ditempat/terpasang (DDP)…
Kelima, dalam survey pasar tidak selalu 3 sumber semakin banyak data survey HPS semakin baik. Harga yang diambil sebagai patokan juga tidak harus yang terendah sesuaikan dengan karakteristik barang jika barangnya Laverage maka harga terendah bisa dijadikan dasar karena kita yakin banyak penyedia yang menawarkan harga terendah… tapi jika barang adalah bottleneck atau Critical maka harga tertinggi bisa saja jadi patokan selama data kita cukup valid, jika harga terendah yang diambil dalam kasus ini maka kemungkinan penyedia yang menawar hanya 1 maka lelang akan gagal dan tidak tercipta kompetisi. Disisi lain nanti pokja juga akan menerapkan metode evaluasi yang khusus seperti sistem nilai.
Keenam, Dengan demikian unsur perhitungan HPS adalah:
– Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan (Biaya Pokok Barang)
– Biaya Pendukung
– PPN
Untuk memudahkan PPK mendapatkan Biaya Pokok Barang maka survey saja langsung ke titik target struktur pasar seperti yang saya jelaskan di poin 2. Sehingga kita tidak perlu lagi menghitung (Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan) karena Harga pasar sudah pasti memperhitungkan itu semua.. tinggal PPK tambahkan dengan biaya pendukung seperti transport dan asuransi barang jika kita ingin barang itu bisa dibayar jika Barang ditempat/terpasang (DDP). Kemudian total Biaya Pokok + Biaya Pendukung ditambahkan PPN maka inilah yang dijadikan HPS….
Terima Kasih banyak Pak Samsul atas Penjelasannya, dimana kami PPK pemula sudah lebih memahami sedikit banyaknya dalam penyusunan HPS pada jenis paket pekerjan barang.
Pak Samsul boleh bertanya lagi , karna ada perbedaan persepsi antara PPK dengan Bendahara pengeluaran mengenai PPh.
kasus sederhana tapi sangat berdampak dengan pertanggung jawaban keuangan.
ilustrasi seperti ini Pak Samsul :
Pagu Anggaran RP. 50.000.000,-
HPS kita RP. 44.000.000,-
(harga retail 40.000.000 + PPN 10% ( 4.000.000) = 44.000.000,-
kebetulan Nilai Pekerjaan SPK dengan penyedia sama dengan HPS RP.44.000.000,-
pertanyaan saya Pak Samsul :
bagaimana kita menetapkan PPh sesuai peraturan yang berlaku.
dengan an:
1.Pengadaan langsung pakai SPK
2.Pengadaan lansung dengan kwitansi atau Bukti pembelian
3. pengadaan lansung dengan kwitansi atau Bukti pembelian, namun dimana penyedia tidak ada NPWP.
apakah konsep kerja yang kami buat sekarang salah atau sudah sesuai Pak .
cth konsep kerja pengenaan PPh.
Total harga retail = Rp. 40.000.000,-
PPN ( 10 %) =Rp. 4.000.000,-
Nilai Pekerjaan =Rp. 44.000.000,
PPh 2% dari 40.000.000 = Rp.800.000
PPh ( 2 %) apakah dari Rp. 40.000.000, atau dari Rp. 44.000.000,-
pertanyaan kedua :
Apakah PPh yang dikenakan Rp.800.000,- kepada penyedia dengan memperhitungkan dari Pagu Anggaran dari RP.50.000.000 , di DIPA kami, atau pengenaan PPh kepada penyedia terpisah dari perhitungan Pagu Anggaran. ( artinya PPh adalah kewajiban Penyedia )
namun bendahara memperhitungkan PPh itu di ambil dari Pagu Anggaran.
Mohon Penjelasannya Pak, untuk dapat kami Pahami mengenai PPh, Terima Kasih.
Bapak parulian nainggolan :
PPh untuk pengadaan barang adalah 1,5% dari harga barang sebelum PPN. Sehingga dalam kasus Bapak PPh=40.000.000 x 1,5%
Kemudian PPh tidak boleh diperhitungkan dalam HPS karena PPh adalah wajib bayar oleh penyedia atas penghasilan yang didapatkan dari transaksi barang/jasa. Sehingga jika kita breakdown dari rumus harga pasar:
Harga Pasar = Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan
menjadi :
Harga Pasar = (Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead) + (Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead x (PPh / PKP x 100%))
Sehingga PPh tidak ada sama sekali keterkaitan dengan Pagu Anggaran, dan PPh sudah melekat pada keuntungan penyedia, kita hanya menghitung ketika mereka membayar dengan perkalian Harga Pokok Penjualan (Harga Penawaran sebelum PPN) x 1,5%
bagaimana bila di pengadilan mempermasalahkan nilai HPS, di mana kasusnya adalah pengadaan barang hidup seperti sapi. Pengadilan mempermasalahkan harga bakalan sapi pd HPS yg terlampau lebih tinggi dri harga yg mereka survei di pasaran sehingga dituduh mark up harga, pdhal HPS itu sudah mempertimbangkan semua faktor, termasuk harga pasaran saat penyusunan HPS & harga satuan yg ditetapkan dari instansi yg berwenang. Harga pasar saat itu diambil dari data instansi yg memberikan informasi update harga pasaran, ataukah memang harus disurvei langsung ke penjualnya? Kemudian apakah memang biaya maintenence bakalan sapi itu (pakan dll selama menunggu selektor) juga termasuk dalam HPS?
Pek Bernadus: Menurut Perpres Nilai HPS tidak dapat dijadikan dasar menghitung kerugian negara.. untuk itu menurut saya pengadilan harus memperhatikan data harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS… jika kertas kerja HPS yang berisi riwayat penyusunan HPS lengkap dan dari sumber yang bisa ditelusuri jelas artinya tidak fiktif maka tidak ada dasar menetapkan nilai mark up…
Assalamualaikum,
Pak Ramli, saya mau tanya. Apakah barang yang dibeli dengan nilai transaksi dibawah 10 juta tetap perlu hps? soalnya di perpres untuk barang yang dibeli dengan bukti pembelian (<10 juta) gak perlu HPS.
Selanjutnya untuk mendapatkan HPS harus ke berapa toko pak surveinya dan apakah perlu tanda tangan? apakah boleh lewat internet (ex : Bhinnek*.com).
Terima kasih atas infonya
Pak Basuki: aturannya adalah yang pakai bukti pembelian dapat tidak pakai HPS sedangkan yang s/d 10jt belum tentu pakai bukti pembelian. Untuk Survey harga HPS dapat dari sumber mana saja selama bisa dipertanggungjawabkan dan diperhitungkan secara keahlian. Tidak ada aturan harus tandatangan toko, terpenting sumbernya tidak fiktif dan jelas rinciannya.
Ass.Wr.Wb
Dalam forum tanya jawab LKPP ada ditulis sebagai berikut : HPS dapat ditentukan dari nilai tertinggi, nilai tengah (median), nilai yang paling banyak muncul (modus) atau rata-rata (mean) dari hasil survei, sepanjang nilai tersebut diyakini dapat dipenuhi lebih dari 3 calon penyedia (bukan 3 produk). Nilai tersebut sudah termasuk keuntungan, overhead, dan pajak.
3 penyedia bukan 3 produk, artinya HPS disusun atas satu produk, contoh pengadaan komputer dengan merk yang sama (satu produk, bukan tiga produk), terhadap tiga penyedia (katakanlah tiga toko) artinya 1 produk 3 sumber harga. selanjutnya dalam perka 14 tahun 2012 ada disebut sebagai berikut :kejelasan spesifikasi teknis barang tidak mengarah kepada merek/produk tertentu,
kecuali untuk pengadaan suku cadang dan perpres 70/2012 penjelasan pasal 81 sebagai berikut : Yang dimaksud rekayasa tertentu adalah upaya yang
dilakukan sehingga dapat mengakibatkan persaingan
tidak sehat, misalkan penyusunan spesifikasi yang mengarah kepada
produk tertentu, kecuali untuk suku cadang.
Apakah penjelasan penyusunan HPS Bapak sudah mempertimbangkan adanya potensi persaingan tidak sehat, yang berkibat disanggah, kemudian dinyatakan benar, dan lelang menjadi gagal. itu kalau terjadi pada proses pelelangan, padahal pada saat kajian ulang pun, potensi peristiwa disanggah dan gagal lelang pun sudah dapat dirasakan. Oleh karenanya mohon dalam menjelaskan agar dipertimbangkan hal yang berpotensi jadi masalah (disanggah dan gagal lelang) bukan hanya menjelaskan berdasarkan perhitungan matematika, mohon maaf apabila pertanyaanya salah, (mohon jawabanya tidak merujuk pada perpres 4/2015 dan perka lkpp 1 tahun 2015 terkait e-purchasing dan lelang cepat) terima kasih. was.wr.wb
Pak Agus : Apakah produk identik dengan merek? Apakah toshiba, acer, asus adalah merek dari produk laptop. 1 penyedia bisa saja menjual produk laptop dengan berbagai merek. Inilah substansinya sebelum menyusun HPS harus disusun dulu spesifikasinya. Spesifikasi tidak boleh mengarah pada merek tapi mengarah pada spesifikasi produk yang dihasilkan (output) dari pengadaan. Sanggahan adalah konsekwensi atas pelelangan maka dari itu bukan harus dihindari tapi harus dihadapi, sanggah bukan aib tapi satu proses saling menjaga agar tidak terjadi kesalahan. Menyusun Harga (Perkiraan) Sendiri bisa saja salah bisa juga benar ini adalah konsekwensi dari sebuah perkiraan. Untuk itulah saya perlu juga menanyakan bagian mana menurut Bapak dari uraian saya yang berpotensi pada terhalangnya persaingan usaha yang sehat?
Ass.wr.wb. pertama tama diucapkan terima kasih telah menanggapi pertanyaan saya. kedua penjelasan Bapak benar bahwa tidak berakibat pada terhalangnya persaingan tidak sehat selama penjelasannya sebagaiman dimaksud, yang menjadi ragu pada saat penyusunan spesifikasi dengan kekhawatiran mengarah pada merek/produk tertentu adalah dasar berfikir sbb :
bahwa 3 penyedia memberikan informasi harga untuk satu produk/merek. atau 3 harga penyedia untuk 1 merek laptop, atau penyedia a,b,dan c menawarkan laptop merek x
dasar pemikiran adalah sbb
Untuk barang/jasa laverage dimana jumlah penyedia dan barang berada dalam jumlah yang banyak maka kata kuncinya adalah harga terendah. Untuk itu dalam menyusun HPS hasil survey harga pasar yang diambil dapat menggunakan harga terendah. Misal, dalam survey terhadap 3 penyedia A, B dan C didapatkan harga Laptop sebagai berikut :
Penyedia A menawarkan Rp. 5.000.000,-
Penyedia B menawarkan Rp. 6.000.000,-
Penyedia C menawarkan Rp. 7.000.000,-
Dari data ini untuk barang laverage dapat digunakan harga Rp. 5.000.000,- sebagai harga pasar. Ini karena kita yakin dipasar jumlah penyedia yang menawarkan laptop, dengan spesifikasi yang dibutuhkan, tersedia dalam jumlah yang cukup banyak
keterangan itu apakah dapat dibaca.sebagai berikut :
penyedia a menawarkan laptop merek x rp 5.000.000
penyedia b menawarkan laptop merek x rp 6.000.000
penyedia c menawarkan laptop merek x rp 7.000.000
ketiga penyedia menawarkan harga yang berbeda untuk laptop yang sama,yakni laptop.merek.x. inilah yang menjadi keraguan sebagai penyusunan spesifikasi yang mengarah pada merek/produk tertentu.
demikian pemahaman tentang tulisan mengenai 3 penyedia satu produk, dan rupanya pemahaman saya tidak sesuai.dengan maksud tulisan/penjelasannya.
mohon maaf atas tulisan saya, atas perhatiannya terima kasih. Wassalam.
Pak Agus: terimakasih Pak atas analisisnya… dalam contoh tersebut saya tidak menyebutkan merek yang sama tapi spesifikasi yang setara… sehingga kata kuncinya ada pada spesifikasi… Selama spesifikasi tidak mengarah pada merek maka rekomendasi harga dalam survey tidak mengarah pada merek. Tentu sebagai permisalah skema yang terungkap dalam artikel ini tidak bisa menggambarkan keseluruhan kemungkinan. Misal utk barang laverage tentu mencari sumber harga akan mudah mencari lebih dari 3 data untuk itu semakin banyak data semakin mendekati riil harga pasar…
Assalamualaikum wr.wb.Pak Samsul sedikit saya mau share :
Pengadaan Bantuan Modal Usaha Jualan Kios Keluarga Miskin, barang tediri dari :
1. Gula Pasir Rp. 14.000/Kg
2. Minyak Goreng Kemasan Rp. 15.000/Ltr
3. Rokok Rp. 149.000/Slop
4. Mie Instan Rp. 78.000/Duz
5. Kopi Instan Rp. 1.000/Sachet
Survei Harga Pasar dilakukan di tingkat grosir
Barang tersebut diperintahkan melaui SPK kepada penyedia di distribusikan langsung kepada masyarakat penerima bantuan.
Nah idealnya untuk menentukan Harga Satuan masing2 Barang tersebut sehingga menjadi HPS bagaimana mekanisme nya sehingga tidak terjadi mark up harga. Mohon arah/petunjuk nya Pak. Terima Kasih Pak,
Pak Aang: silakan sesuaikan dengan total nilai pengadaannya jika memang non kecil maka survey tingkat grosir tidak masalah, tapi jika kebutuhannya kecil survey ditingkat toko/agen tidak masalah. Setelah dapat harga pasar totalnya tambahkan PPN 10%.
test coment
mau nanya mas samsul.
Jika pagu Rp. 305.000.000,-, HPS : Rp. 300.000.000,-, sedangkan penawaran penyedia yg menang Rp. 290.000.000,- dan telah dipublikasikan melalui LPSE, namun ternyata harga penawaran yg menang tadi berselisih dengan HPS per-item satuan barang, sehingga muncul selisih Rp. 60.000.000,-. Jadi setelah koreksia aritmatika total Harga adalah Rp. 230.000.000,-. Bagaimana menurut Mas Samsul dengan hal ini???? terima kasih.
Pak Aan: saya agak ragu dengan kalimat berselisih dengan HPS ini… coba Bapak baca artikel tentang koreksi aritmatik. Jika koreksi aritmatik sudah dilakukan dengan benar, jika benar harga terkoreksi 230jt maka harga tersebut dijadikan harga penawaran terkoreksi dan nanti saat klarifikasi dipastikan kepada penyedia.
Mau tanya Pak Samsul.
Apakah Pak Samsul punya referensi mengenai cara perhitungan/rumus untuk menentukan biaya pemeliharaan dan perkiraan suku cadang dimana kedua biaya tersebut diambil berdasarkan dari total pengadaan? Misal: Untuk biaya total pengadaan dan jasa pemasangan itu 100jt. Nilai pemeliharaan dan kebutuhan suku cadang-nya misal diperkirakan 40% dari total pengadaan dan jasa pemasangan untuk memenuhi pengoperasian selama 2 tahun.
Ada gak cara menghitung perkiraan kedua biaya tersebut sebagaimana saya contohkan 40% dari total nilai pengadaan?
Apabila Pak Samsul mempunyai referensi atau pernah merancangnya, dengan senang hati apabila Pak Samsul dapat sedikit berbagi ilmu kepada saya.
Terima kasih sebelumnya Pak Samsul
Pak Irfan: setau saya tdk ada aturan soal itu maka kembalikan pada kebutuhannya..
Asslmkm. Pak samsul bolehkah dalam penentuan hps didasarkan pada RAB yang telah dibuat oleh konsultan atau perencana? Sebagai contoh dalam penentuan harga material dan upah pemasangan trafo. Trmksh.
Mba pungki: sebaiknya tidak karena HPS adalah perkiraan PPK bukan perencana kadi sebaiknya tetap di update minimal pada material utama
Baik pak trmkash. Saya pernah membaca penentuan hps ppk dapat dibantu oleh engineers estimates itu bagaimana pak?? Trmksh
Mba Pungki: dibantu bukan dibikinkan, dibantu tentu ada batas tanggungjawabnya… yang bantu hanya membantu bukan yang memutuskan, yg memutuskan sebaiknya punya mekanisme justifikasi dalam ambil putusan karena seluruh tanggungjawab ditanggung yg memutuskan… mka dari itu ada istilah EE dan OE..
Luar biasa pencerahannya pak. Trmksh banyak. Sukses selalu pak samsul..
Sama2 mba pungki
Salam Pak Samsul Ramli, saya Ronald Sihaloho. Butuh penjelasan Pak! Bagaimana bila HPS sama dengan EE? Bila boleh, apa payung hukumnya?
Selama memang harga pasar 28 hari sebelum pemasukan penawaran seluruh harga satuan dasar material utama adalah sama maka EE ditetapkan sebagai OE tentu tidak masalah.. meskipun menurut saya itu hal yg mustahil…
Salam Pak Samsul. Saya mau tanya, apakah setiap pengadaan dalam menentukan HPS harus selalu dilaksanakan survey? misal untuk pengadaan ATK tiap tahun harus dilaksanakan survey?
apakah bisa HPS nya melihat tahun sebelumnya kemudian dipertimbangkan dgn perubahan harga? tanpa adanya survey?
trims pak mohon pencerahannya
Metode penyusunan informasi menggunakan data sesuai pasal 66 jadi selama bisa dipertanggungjawabkan silakan.
pa boleh minta untuk contoh kasus perhitungan hpp buat cv yang notabene pemenang lelang gak ?
Maaf saya belum jelas apa maksud HPP CV pemenang lelang.. karena terus terang belum pernah jadi penyedia…
ass pak samsul saya dri banten, mau tanya klo mencari atau mengetahui harga rata rata bagaimana? misalkan di anggaran Rp. 9.860.000 untuk pengadaan brankas 2 unit , itu cara nya gimana pak? untuk membuat hasil survey barang?? mohon bth penjelasannya pak trims
Silakan pelajari lagi artikelnya.. dan pelajari tentang dasar-dasar menghitung rata-rata dari ilmu statistik.. cari informasi harga pasar sesuai jenis barang/jasa.
Dalam komentar bapak menyebutkan penentuan hps alkes beresiko tinggi dan perlu riset pasar. Mohon jelaskan kenapa dan apa saja yg perlu diperhatikan untuk riset pasarnya pak
Banyak hal diantaranya peta persaingan barang, persaingan pasar penyedia, struktur pasar dan tingkat layanan yang diberikan.