Sadar Hukum atau Taat Peraturan

    Dalam sebuah diskusi muncul pemikiran menarik berasal dari pertanyaan yang menarik pula. Awalnya hanya sekedar tentang mengapa dalam Perpres 54/2010 ketentuan tidak pernah terlibat KKN hanya pada Pejabat pembuat Komitmen (PPK). Sedangkan pihak lain seperti Pokja, Pejabat Pengadaan maupun PPHP tidak dikenakan.

    Perpres 54/2010, terlepas ini adalah buatan manusia yang pasti tidak akan pernah sempurna, namun dalam penyusunannya tentu telah melewati serangkaian perdebatan, adu pemikiran dari sekian banyak orang dan latar belakang pengalaman. Sehingga tidak dapat serta merta kemudian kita bersuudzon bahwa ini kealfaan.

    Dalam kerangka memahami alur pikir penyusun peraturan, ada baiknya kita berusaha memasuki kerangka filosofisnya. Triger pertama yang digali adalah apa perbedaan dan persamaan mendasar antara PKK dan lainnya.

Menelaah Pasal Pasal 12, 17 dan 18 persamaan paling mencolok dikaitkan dengan KKN adalah PPK, Pokja, Pejabat Pengadaan dan PPHP wajib memiliki integritas. Pasal 1 ayat 13 tentang Pakta Integritas secara tersirat menjelaskan definisi integritas yang dimaksud Perpres 54/2010 yaitu mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa.

    Kemudian Perbedaan mendasar dari para pihak tersebut adalah kewenangan penandatangan kontrak. Hanya PPK atau personil yang memiliki kewenangan PPK berhak menandatangani kontrak. Dari persamaan dan perbedaan ini kita sandingkan sebagai analisa.

Mengapa hanya PPK yang dipersyaratkan tidak pernah terlibat KKN adalah karena PPK sebagai pihak yang menandatangani kontrak. Kontrak adalah perikatan yang mengikat secara hukum kepada kedua belah pihak atau lebih. Sehingga boleh dikatakan dokumen kontrak adalah dokumen hukum berisi aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak melanggar akan dikenai sangsi hukum.

     Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka yang pernah divonis melakukan KKN boleh menjadi Pokja, Pejabat Pengadaan dan PPHP? Karena yang diatur perpres 54/2010 hanyalah tidak boleh menjadi PPK.

    Kerangka pikir yang kita gunakan tetap seperti pola pikir Perpres 54/2010, dimana secara filosofis terbagi atas prinsip dan kebijakan. Dengan demikian dapat diinduksi bahwa hukum adalah prinsip, sedang peraturan adalah kebijakan yang berisi tuntunan bagaimana hukum/prinsip itu dapat dicapai. Ada dua hal yang harus dibedakan, satu kewenangan membuat aturan/hukum dan kewenangan melaksanakan/menjalankan aturan.

    Dari kerangka ini menjadi sangat wajar bahwa pembentuk aturan/hukum harusnya tidak pernah terlibat kasus KKN. PPK adalah pembuat dan penandatangan kontrak yang notabene dokumen hukum.

    Kemudian untuk pelaksana aturan diwajibkan mempunyai integritas. Atau mengacu pada bahasa Perpres 54/2010, mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. Pada tingkatan pelaksana aturan maka pasal integritas mengikat pada proses yang sedang dilaksanakan. Untuk memastikan bahwa pelaksana melanggar pasal integritas harus dilakukan pembuktian.

Untuk itulah salah satunya pada pasal 83 ayat 3 huruf b. diatur bahwa PA/KPA menyatakan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung gagal apabila pengaduan masyarakat adanya dugaan KKN yang melibatkan ULP dan/atau PPK ternyata benar; Begitu juga dengan huruf b: dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung dinyatakan benar oleh pihak berwenang.

Dampak pelanggaran hanya mengikat pada proses yang sedang berlangsung. Sehingga predikat atau pelaku pelanggaran peraturan tidak serta merta diharamkan menjadi pelaksana pada proses yang lain.

Setidaknya inilah yang bisa dipahami dari konstruksi Perpres 54/2010. Pengaruh asas praduga tak bersalah atau “Presumption of Innocence” sangat kental. Selama seseorang belum terbukti secara sah dan benar melakukan pelanggaran maka tidak ada alasan dihalangi terlibat dalam pelaksanaan aturan.

Konsep sederhananya pembuat aturan tidak boleh mempunyai track record buruk, karena aturan yang dibuat berlaku menyeluruh. Sedangkan pelaksana aturan tidak dihalangi sebelum dia terbukti secara benar melakukan pelanggaran pada proses yang sedang ditangani.

Memang ada prasangka yang umum bahwa pelaku pelanggaran cenderung akan melakukan kesalahan yang sama. Namun sekali lagi ini adalah prasangka yang dalam agama Islam disebut suudzon. Belum tentu juga kesalahan yang diperbuat dilandasi oleh kesengajaan atau kesadaran. Untuk itu tidak lah adil kalau hukuman yang telah dijalani menjadi kesalahan yang ditanggung selamanya.

Apalagi kalau kita kembali pada konsep prinsip dan kebijakan. Pelaksanaan aturan adalah kebijakan. Untuk itu penerapan kebijakan haruslah berdasarkan pertimbangan yang akurat dan akuntabel. Di wilayah kebijakan tidak ada kebenaran mutlak melainkan harus dilihat landasan pengambilan kebijakan.

Apabila ada keberatan yang amat sangat terhadap status “pernah bersalah” calon pelaksana atau pelaksana aturan, pengambil kebijakan harus benar-benar melandasi dengan argumen yang kuat untuk tidak melibatkannya. Tidak berdasarkan praduga atau suudzon.

Semua orang punya hak untuk menjadi lebih baik. Disamping itu hukum/peraturan yang baik adalah yang mampu mencegah terjadinya kesalahan atau pelanggaran hukum bahkan oleh orang yang pernah melakukan kesalahan.

Tujuan utama dibuat hukum/aturan adalah tercapainya kesadaran bukan hanya ketaatan. Kesadaran muncul dari kesalahan, pernah mengalami atau melihat dampak dari pelanggaran aturan.

Ciri khas dari ketaatan cenderung pencarian celah pelanggaran aturan. Pertanyaannya pasti tentang sangsi. Apabila kami tidak melaksanakan ini apa sangsinya? Sebaliknya pencapaian kesadaran adalah usaha pencapaian nilai-nilai prinsip (hukum) tanpa melihat adanya sangsi.

Mereka yang taat terhadap hukum lalu lintas akan cenderung tidak menggunakan helm ketika tidak ada petugas. Tapi mereka yang sadar akan prinsip keselamatan diri, akan menggunakan helm meski tidak ada petugas. Ini tentang pilihan sasaran, masyarakat sadar hukum atau masyarakat taat peraturan.

9 thoughts on “Sadar Hukum atau Taat Peraturan”

    1. Betul Pak..karena peraturan hanya tools yang menjadikannya baik atau buruk adalah yang menggunakannya…jadi selama kesadaran hukum tidak ada maka peraturan tidak akan dapat berbuatbanyak untuk kebaikan…

  1. yg lebih baik lagi, mas.. org yg buat aturan ga dibayar oleh objek hukum yg punya kpentingan atas aturan itu, ..trus yg lebih penting lagi “jangan” yg buat aturan malah nabrak aturan..
    trus lagi, sy kutip kalimat “…., Belum tentu juga kesalahan yang diperbuat dilandasi oleh kesengajaan atau kesadaran. Untuk itu tidak lah adil kalau hukuman yang telah dijalani menjadi kesalahan yang ditanggung selamanya..” dlm islam itu sendiri ga ada aturan “tau ato ga tau”, kl itu satu ksalahan “walopun ga tau” maka hukumannya tetap dosa, kan ada ayat “iqra” yg smua manusia disuruh membaca ato belajar, bukan hny penunggu informasi.. hehe denger dr ustad kmaren..

    1. Kesalahan dan dosa adalah 2 hal berbeda menurut saya pak kesalahan adalah sebab dan dosa adalah akibat. Kesalahan bisa diperbaiki sedangkan dosa tetaplah dosa. Ketika seorang bertobat maka yang dinilai adalah apakah dia berbuat kesalahan yang sama atau tidak. Disinilah prinsip pengampunan/tobat berlaku. Apakah dosa bisa diampuni hanya yang Maha Pengampun saja yg bisa menentukan karena wilayah kita bukan hasil tapi ikhtiar. Demikian Pak pendapat saya.

  2. Bang Samsul yth,
    Izin turut komentar ya.
    Hukum adalah sekumpulan aturan yang berisi pedoman perilaku berupa perintah dan larangan dengan tujuan tertibnya sebuah proses dan tercapainya hasil yang diharapkan sebagai akibat. Jika hasil menjadi tujuan maka perilaku yang dilandasi kesadaran atau karena terpaksa maka hasilnya akan sama. Tetapi jika proses yang dinilai maka perilaku yang dilandasi kesadaran taat hukum lebih bernilai daripada perilaku karena terpaksa. Untuk perilaku yang terakhir ini lah maka diperlukan fungsi hukum. Wallahu’alam.
    Salam Pengadaan.

    1. Kesadaran berorientasi pada manfaat sifatnya kualitatif. Mengenai Hukum berisi pedoman perilaku atau kita sebut aturan betul pak. Tapi hukum dan aturan harus dibedakan antara prinsip dan kebijakan. Hukum adalah prinsip yang berisi nilai-nilai universal sedangkan aturan bersifat kebijakan yang bernilai kondisional atau praktikal dan disusun dalam rangka mencapai prinsip hukum. Jadi ketika pada tingkat kesadaran hukum apapun tindakannya akan menuju pada prinsip universal. Tapi taat pada aturan kiblatnya hanyalah kebijakan. Ketika tidak ada pengawas kebijakan maka bisa saja aturan diabaikan dan akhirnya melanggar prinsip universal (hukum). Demikian pendapat saya pak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.