PEMBANGUNAN YANG TERJEBAK HARGA

Setiap tahun pemerintah menyusun anggaran pembangunan dalam jumlah yang sangat fantastis namun dari sisi manfaat masih disangsikan oleh masyarakat. Ini karena secara general besarnya anggaran itu tidak terlalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik melalui peningkatan pendapatan maupun kualitas hidup lainnya.

Selain karena persoalan pemborosan, korupsi dan permasalahan inefisiensi lainnya, ada hal lain yang mendasar menurut saya. Persoalan itu adalah tentang mindset dalam memandang anggaran pembangunan. Ini tentang konsep cost dan price.Ada perbedaan mendasar antara cost atau biaya dengan price atau harga.

Harga merupakan nilai relatif dari produk. Karena sifat relatifnya harga tidak serta merta menunjukkan besarnya sumber daya yang diperlukan dalam menghasilkan produk. Sedangkan biaya merupakan nilai absolut dari seluruh sumber daya dalam menghasilkan satu produk. Dalam pengertian ini ketika kita menentukan komponen penghematan biaya setidaknya terdiri dari kualitas, waktu dan harga.

Komponen penyusun harga suatu produk baik barang/jasa paling tidak terdiri dari profit, tenaga kerja, sistem, bahan baku dan overhead. Relatifitas harga bisa dilihat pada komponen profit. Besar kecilnya profit sama sekali tidak mempunyai ukuran yang pasti dan tidak bisa diberi batasan.

Bila ingin disimpulkan maka harga adalah salah satu unsur pembentuk biaya. Oleh karena itu biaya dapat dijadikan landasan obyektif dalam menilai suatu produk karena tidak hanya diukur dengan nominal tapi juga ukuran manfaat atau kualitas serta tentang waktu.

Sementara dalam realitas dilapangan ukuran keberhasilan pelaksanaan anggaran pembangunan lebih diarahkan kepada pencapaian output. Penilaian berbasis output merupakan orientasi jangka pendek. Kemudian disisi pengguna, menilai pencapaian kegiatan pembangunan lebih kepada besaran anggaran bukan berdasarkan kemanfaatan terkait waktu dan kualitas. Hal ini menghilangkan obyektifitas terhadap penilaian kegiatan pembangunan.

Untuk sampel didaerah, dapat kita lihat dalam pengisian formulasi dokumen Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Sangat sedikit unit kerja yang aware terhadap pengisian indikator kualitatif anggaran. Sebagian besar waktu dan tenaga tercurah hanya untuk pengisian formulir mata anggaran atau rekening. Tidaklah terlalu penting komitmen kualitatif terkait outcome ataupun benefit, yang terpenting berapa besar anggaran terserap.

Ini realitas yang ada tentang lebih dipentingkannya ukuran nominal (price) dibanding ukuran kualitatif (cost). Ini baru pada tataran dokumen anggaran, bisa dibayangkan bagaimana implementasi anggaran itu kemudian dilapangan.

Maka bukan hal penting infrastruktur jalan rusak dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun, yang penting masyarakat segera bisa menikmati jalan, toh 1 atau 2 tahun kedepan bisa dianggarkan lagi perbaikannya.

Dengan mindset ini pembangunan bukanlah upaya perbaikan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan namun lebih pada upaya untuk bertahan ditengah gempuran kemajuan jaman. Ini adalah ciri khas terjebaknya pembangunan kita dalam kubangan price mindset. Konsekwensi utamanya adalah untung rugi.

Tidaklah terlambat kalau sekarang kita ubah price mindset menjadi cost mindset, dalam upaya mewujudkan masa depan yang lebih baik. Cost mindset menempatkan kualitas pada urutan yang utama selain waktu dan harga. Kualitas diukur dari nilai manfaat atau dalam perspektif anggaran adalah value for money (VFM). VFM atau nilai uang adalah keseimbangan optimal antara biaya dengan benefit yang diinginkan. Komponen VFM sendiri secara gradual terdiri dari kualitas, kuantitas, waktu, tempat dan harga.

Dari pola pandang ini setiap rupiah yang akan dikeluarkan mempunyai nilai manfaat yang tinggi karena diukur berdasarkan kebutuhan absolut bukan keinginan yang relatif.

Tentu merubah mindset bukanlah pekerjaan yang dapat berhasil dalam jangka lima atau sepuluh tahun. Perlu komitmen dan konsistensi yang luar biasa dari seluruh komponen untuk dapat menjaga arah penganggaran menuju manfaat.

Terutama dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah karena hampir 80% lebih kegiatan pembangunan adalah pengadaan barang/jasa. Dalam satu dekade terakhir pengadaan barang/jasa pemerintah atau government procurement mengalami perubahan yang mendasar dari kegiatan yang bersifat transactional kearah strategical.

Transactional mengandung pengertian bahwa kegiatan pengadaan barang/jasa hanyalah proses administratif dari upaya mendapatkan barang/jasa dengan beberapa pilihan kegunaan. Hal ini memunculkan variasi kinerja terhadap barang/jasa yang sejenis.

Perubahan kearah strategical adalah bahwa proses pengadaan barang/jasa didekati sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkesinambungan. Elemen strategis dalam siklus pengadaan barang/jasa adalah manajemen sumber daya (sourcing), pelelangan (tendering), manajemen kontrak (contract management) dan manajemen aset (asset management).

Konsep baru ini memperkenalkan tentang pengadaan barang/jasa sebagai suatu siklus utuh dari proses pemenuhan kebutuhan pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat atau public services. Melalui pemahaman ini proses pengadaan barang/jasa pemerintahan tidak lagi hanya memperhitungkan untung rugi sesaat yang menjebak kita pada prinsip harga terendah.

Mari kita jadikan ikhtiar bersama langkah mengubah price mindset menjadi cost mindset. Sebelum semua menjadi terlambat ketika sumber daya alam kita semakin menipis dan terpaan globalisasi sudah tidak bisa kita tahan lagi dengan kebijakan yang protective. Membangun bukan untuk sekarang tapi untuk masa depan tentunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.